Selasa, 30 Mei 2017

STARSHIP entertaiment confirms SISTAR is disbanded

Sistar akan mengeluarkan singel terakhir untuk perpisahan di 7 tahun bersamaan. mari kita dukung sistar di kehidupan ke dua (sedih gua) liahat perjalanan mereka. https://id.wikipedia.org/wiki/SISTAR

lihat juga video practice dance blogger

Kamis, 19 Januari 2017

:: Lelaki hujan II

Friday Night “Apa yang kamu bilang, Sayang? Kamu lihat Dennis?” Dicky tahu Ibu tidak akan percaya. Apalagi kalau Dicky bilang Dennis menjadi halimun pekat. Memutih. Ibu akan kembali bilang Dicky gila. Ibu akan mengacungkan balok kayu itu, menjeritkan kata-kata menyakitkan. Tapi Ibu tidak jahat. Dicky percaya itu. Ibu hanya butuh seseorang yang mau mengerti Ibu. “Di mana?” “Di rumah Nenek.” “Kalau sekarang?” Dicky menelan ludah. Bagian yang Dicky benci. Menerangkan fantasi mustahil meski itu kenyataannya. Tak perlu kapasitas 10 gigabyte memori untuk merekam semua itu. Otak Dicky masih mengingatnya dengan jelas. Dennis membaur begitu saja dengan udara. “Hilang,” jawab Dicky. “Dia kan selalu hilang.” Ibu geleng-geleng kepala melihat Dicky. Dicky masih ingat penggalan detik terakhir Dennis. Dennis berontak minta dilepas. Agas ingin membawa Dennis ke Dicky. Tapi Dennis lenyap. Wuzzz. Seperti yang Dicky bilang tadi, seperti halimun pekat. Sewaktu Dicky menginterogasi Agas, Agas bilang itu memang Dennis. Menjadi cupid. Dicky jelas nggak percaya. Cupid itu nggak ada. Cupid itu hanya fantasi mitos belaka. Hanya memenuhi kepala Dicky, membuat Dicky selalu menggoreskan lekuk-lekuk tubuhnya dalam pahatan bingkai. Kalau saja Dicky cerita soal cupid pada Ibu, Ibu dijamin tertawa. Sampai pagi buta esok harinya, Ibu masih tertawa. Ibu tidak gila. Ibu hanya tidak peduli pada rambutnya, tapi masih punya otak. Karena Ibu hanya membutuhkan orang yang mau mengerti Ibu. (Dan Dicky sudah berusaha.) Dicky menutup pembicaraan itu, membereskan meja makan dan membiarkan Ibu menikmati yoghurt terakhirnya. Tapi Ibu menghentikan gerik Dicky. Ibu membuat Dicky menahan piring di udara. “Seperti apa rupanya? Dennis. Dia kelihatan seperti… manusiakah?” Dicky menelan ludah. Bimbang antara membiarkan diri sendiri ditertawakan atau menganggap Ibu mulai lenyap kewarasannya. Mulai membahas seseorang yang berbelas tahun terakhir tak pernah ada. “Seperti manusia,” jawab Dicky. “Tapi mungkin itu imajinasi Dicky.” “Semua kenyataan berasal dari imajinasi,” potong Ibu. “Cerita ke Ibu. Dennis seperti apa? Ganteng seperti kamu? Sehat?” Ibu bertanya seolah baru kemarin ketemu Dennis. Senyumnya tidak mengabarkan kalau dia tidak bertemu putra bungsunya berbelas tahun. Ibu tetap tampak seperti psikolog yang dibayar mahal. Duduk dengan wibawa. Mengedikkan kepala dengan anggun. “Dennis sehat. Dennis ganteng. Lebih ganteng dari Dicky.” Dicky tertawa, mencairkan suasana. Dicky tahu Ibu paling suka menganggap anak-anaknya ganteng. Dicky bisa melihat dari senyum dikulum Ibu yang membuat wajah Ibu terlihat manis. “Tapi... Dennis keburu hilang.” “Kenapa dia hilang?” Dicky mengangkat bahu. Dicky bergegas ke dapur, mencari alasan untuk menghentikan pembicaraan ini. Entah apa yang membuat Dicky bicara. Topik itu mendadak keluar begitu saja. Seolah Dennis adalah pembicaraan sehari-hari. Seolah Dennis ada di sekitar kami. “Kapan kamu ketemu Dennis?” Ibu bertanya lagi. Masih duduk di ruang makan. Dicky bingung. Dicky nggak tahu harus jawab apa sekarang. Nanti dipikirnya, Dicky nggak waras. Nanti Ibu bakal pukul Dicky lagi. Sebab, Dicky ketemu Dennis berhari-hari lalu. Jauh sebelum kematian Nenek. Tepat beberapa hari setelah Cazzo, laki-laki yang naksir Agas itu, diculik Iblis. Aku berhenti sejenak. Cazzo. Ada nama Cazzo di sini. Aku jadi teringat Cazzo yang bangun tidur dalam pelukanku pagi ini. Dia... “Kamu nggak kepanasan?” tanya Faisal. Aku mendongak dari catatan. Jantungku berdegup sekali. Mendadak. Faisal sedang telanjang dada. Entah muncul dari mana, aku merasakan darahku berdesir menatap tubuh Faisal yang tak berbalut kain. Padahal, badannya bukan badan paling oke. Malah, buruk. Persis Derry. Perutnya agak buncit. Nggak berotot sama sekali. Kelaminku menegang. Normal, sih. Di depanku ada laki-laki telanjang. Namun aku harus fokus. Aku, kan sedang membaca catatan. “Seriusan, kamu nggak kepanasan?” kata Faisal lagi. Dia berkeringat. Aku mulai merasa aneh. Kukira dia bercanda soal kepanasan itu. Namun kulitnya mengkilat. Penuh keringat. Dia betulan sedang kepanasan. “Kamu sakit?” tanyaku. Faisal menggeleng. “Nggak, kok. Tapi saya kayak yang gerah. Padahal di luar hujan gede.” “Mau aku beliin obat?” “Nggak usah.” Faisal duduk di atas tempat tidurnya. Dia menggelengkan kepala. Menjernihkan otak. “Sorry saya buka baju,” katanya. “Lanjut aja bacanya.” Oke. Lanjut. Selama ini Dicky berusaha melupakan kejadian itu. Tapi bayangan wajah Dennis terus melekat di otak Dicky. Membuat malam Dicky seterang siang, membuat siang Dicky sekelam malam. “Kapan?” Ibu dengan tenang bertanya lagi. Kali ini mulutnya dengan cantik menggigit biskuit. “Kenapa Ibu mau tahu?” “Karena kamu bilang ketemu Dennis, ya Ibu pingin tau.” “Nanti Ibu nggak akan percaya.” Ibu tergelak. “Jadi kamu berharap Ibu percaya?” Alis Ibu terangkat. “Haruskah Ibu percaya? Ibu kan cuma minta diceritakan. Banyak penulis novel menulis cerita bohong, tapi Ibu tetap membaca tulisan mereka.” Dicky duduk di seberang Ibu. Memutar-mutar sendok dengan ragu. Dicky berdecak. Hati Dicky berkecamuk antara berkisah atau tidak berkisah. Melihat delik mata Ibu, kasihan Ibu kalau Dicky nggak cerita. Melihat delik mata Ibu, kasihan juga Ibu kalau Dicky cerita—takut itu membuatnya sedih. “Jadi kamu mau cerita?” “Oke. Dicky mau cerita,” jawab Dicky. “Dicky ketemu Dennis udah agak lama. Lebih dari sebulan lalu. Sebelum Nek Alia meninggal.” “Kenapa baru nyerita sekarang?” “Karena Dicky nggak yakin waktu itu ketemu Dennis.” “Kalau sekarang udah yakin itu tuh Dennis?” Ibu mengambil biskuit. Dicky mengangkat bahu. “Dicky cuma punya feeling... kalau mungkin itu Dennis. Semalem Dicky mimpiin sosok itu lagi. Sosok Dennis. Udah gede. Dennis nyuruh Dicky buat ngunjungin Esel. Dicky cuma geleng-geleng kepala aja. Namanya juga mimpi.” Astaga. Beneran. Ada nama Esel. Ada nama Cazzo. .... Ini nggak ada kaitannya dengan Cazzo dan Ayysell yang aku temuin akhir-akhir ini, kan? Yang namanya Cazzo sama Esel harusnya banyak, kan? “Yang namanya Cazzo sama Esel banyak, kan?” tanyaku, melontar ulang apa yang ada dalam otak. Kulihat Faisal sedang memicingkan matanya kuat-kuat. Pelipisnya dipijat. Dia seperti sedang sakit kepala. “Kenapa,Faisal?” “Apa?” tanyanya. “Kamu sakit?” tanyaku. “Bukan, bukan. Saya cuma kepanasan. Aneh ini juga.” Aku meletakkan catatan tulis ulang jurnal di atas meja. Kuhampiri Faisal. Kusentuh badannya... ... dingin. Dinginnya sama seperti badanku. Dingin karena di luar hujan deras. Meski keringat itu tetap nyata. “Sebelumnya kamu sering kayak begini?” tanyaku. Faisal menggeleng. “Baru sekarang kayak begini. Aaahhh.” “Aku ambilin handuk, ya. Lap keringatnya.” Faisal mengangguk. Aku masuk ke kamar mandi Faisal dan menemukan handuk merah lembap. Kuambil handuk itu dan berniat kuberikan padanya. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Faisal sudah berdiri di tengah ruangan. Berdiri tegak. Seperti komandan upacara. Petir menggelegar di luar, sebagian cahaya kilatnya menerangi satu sisi tubuh Faisal. Aku menelan ludah. Aku takut. Kenapa Faisal jadi seperti orang kesurupan? “Ba-badannya masih panas?” tanyaku. Faisal mengangguk. Matanya memerah. “Ini handuknya.” Aku menelan ludah. Faisal nggak mengambil uluran handukku. Faisal mulai membuka kancing celananya. Melucutinya. Dadaku berdebar lebih kencang sekarang. Bukannya aku nggak suka sama pemandangan ini. Tapi... antara Faisal memang bercanda, atau dia sedang kesurupan. Aku selalu punya fantasi bercinta dengan cowok straight. Faisal ini dilihat dari sudut mana pun: straight. Badannya nggak bagus, tapi straight. Jadi, meski badannya bagus, yang penting straight dan wajahnya oke, aku bakalan sangat bergairah. Dan, ya, aku mendadak bergairah. Faisal telanjang sekarang. Kelaminnya menggantung di bawah jembut keriting yang agak dirapikan. Kelamin itu disunat rapi. Agak membesar. Agak berdenyut-denyut. Agak mengeras ketika cahaya kilat petir kembali memotret salah satu sisi tubuh Faisal. Aku menjatuhkan handuk merah itu. Bukan demi suasana dramatis. Aku setengah ketakutan, setengah ingin melanjutkan. Situasinya persis ketika Cazzo menyiapkan omlet untukku pagi ini. Atau ketika Derry mendadak ingin bercinta. (Hantu Derry, maksudku.) Bedanya, selalu saja ada alasan bagiku untuk gagal bercinta dengan Cazzo dan Derry. Namun di sini? Aku nggak mungkin berlari keluar dalam hujan deras. Apalagi ketika ada cowok menarik telanjang di depanku. Yang kelaminnya, selama aku berkata-kata dalam hati barusan, sudah mengacung ke udara. Hffft. Nggak gede. Tapi oke. “Faisal?” tanyaku. Faisal menelan ludah. “Saya nggak tahu kenapa. Tapi pas lihat kamu sekarang, saya jadi pengin....” Faisal nggak melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu menggantung di bawah berisiknya hujan deras. Hal itu membuatku penasaran setengah mati. Pengin apa? Makan bakso? Main sama lumba-lumba? Kelaminku sudah mengeras seutuhnya sekarang. Faisal diam saja di sana. Dia belum melanjutkan kata-katanya. Aku merasakan libidoku kembali melambung naik. Mungkin, karena ini sudah sore, libido itu merapel semua hasrat yang kurasakan sejak pagi, melewati siang, hingga sekarang. Aku tak melihat kabur sebagai sebuah pilihan. Jantungku berdebar kencang, tetapi mataku fokus melihat organ yang menggantung di bawah perut besar Faisal. Namun kami tetap diam. Tetap dihujani kilatan-kilatan cahaya petir, seperti dalam film-film vampir. Kalau Faisal ingin begituan, kenapa tidak bilang? Toh, aku tidak akan menolak. Untuk pertama kalinya hari ini aku yakin, aku tidak akan menolak. Aku sih tetap lebih ingin bercinta dengan Cazzo. Namun kemungkinan aku bisa direngkuh oleh tubuh telanjang Cazzo semungkin matahari beranak pinak menjadi banyak. Matahari yang menyinari bumi, maksudku. Bukan matahari yang jualan baju dan setiap bulan menyelenggarakan diskon. Aku bisa saja bercinta dengan Derry kapan pun aku mau. Tapi, masa iya Derry lagi? Sementara di sini ada cowok straight telanjang yang tampak ikhlas aku jamah di bagian mana saja. Setelah meyakinkan diri, aku maju. Aku mengulurkan tangan untuk menggelitiki putingnya. Faisal bergidik geli dan tersenyum. Dan tersenyum, camkan itu. Dia nggak menolak. Ketika aku meraba kulit dadanya yang halus itu, mata Faisal terpejam. Menikmati. Mulutnya mendesiskan sebuah desah. Aku melirik kelaminnya. Benda itu berdenyut semakin hebat. Mungkin memang ini caranya bercinta denganku. Mungkin memang ini saatnya aku bercinta. Aku tak akan menceritakan dengan detail bagaimana kami melakukan itu. Biarkan itu kunikmati sendiri. Yang pasti, di bawah suara tawuran air di atas genting, juga cahaya petir yang berkali-kali memotret, aku melakukannya bersama Faisal. Aku menjilat nyaris seluruh bagian tubuhnya. Faisal bergidik nikmat dibuatnya. Aku meraba dan mencubit nyaris semua permukaan kulitnya. Faisal mendesah dan mengedikkan kepalanya. Ketika aku mengulum kelaminnya ke dalam mulutku, Faisal menengadahkan kepala. Dia tidak tampak seperti lelaki gay yang jari kelingkingnya menari cantik sambil menggenjot maju mundur. Kedua tangannya meremas kepalaku dengan jantan. Aku digagahi olehnya. Dan, rasanya nikmat. Dia memperlakukanku seolah aku ini perempuan. Senyumnya berkali-kali dia lukis, setiap aku ketahuan mengamati wajahnya. Tangannya berkali-kali meremas dadaku, setiap kali aku mendesah menikmati. Ketika kelaminnya menusuk duburku, rasanya enak. Mungkin inilah yang dirasakan Derry selama ini. Ada satu titik di bagian dalam yang membuatku sesekali menggelinjang karena keenakan. Ditambah sugesti kelamin seorang lelaki yang keras seperti besi sedang berusaha menggelitiki diriku. Kami menghabiskan sekitar empat puluh menit melakukan semua itu. Lebih lama dari semua film bokep yang kudownload. Aku selalu terpukau ketika Faisal berkali-kali melihat kelaminnya sendiri, menatapnya seolah memohon. Memohon aku menjepitnya lebih kuat lagi. Seolah pusaka itu di bawah kendaliku sekarang. Seolah pusaka keras itu tak berdaya di dalam tubuhku sekarang. Faisal memuntahkan pejuhnya di atas perutku. Putih kental. Hangat-hangat susu. Ketika semua cairan putih itu melompat keluar, tubuh Faisah berkilat oleh keringat. Dia tersenyum lebar. Tampak puas. Dibaringkannya tubuh besarnya itu di sampingku, persis anjing laut. Kemudian, desah napasnya mulai teratur. Dan, dia tertidur. Aku menghabiskan lima menit berikutnya melamun. Sepuluh menit berikutnya mengingat-ingat adegan seks manis yang baru saja kulakukan. Lima menit berikutnya merasa bersalah pada Derry. Lima menit berikutnya merasa ingin melakukannya lagi dengan Faisal. Ya, aku puas bingit pakai pisan. Aku masih bisa merasakan titit mungil itu mendobrak bagian dalam pantatku. Keras, dan ... aaah, apa aku perlu memasukkannya lagi? Tapi Faisal sedang mendengkur di sampingku. Seperti Gloria. Dari film kartun Madagascar. Akhirnya, aku menghabiskan dua puluh menit berikutnya membersihkan semuanya. Hujan berhenti saat itu. Faisal terbangun. Sudah kupasangkan celana. Ketika dia melihat diriku, wajahnya memerah malu. “Sa-saya... saya tadi ngapain...?” katanya pelan. Menelan ludah. Dalam raut wajahnya, tampak penyesalan yang sangat-sangat-sangat dalam. Tatapan matanya seolah meleleh karena ketakutan. Sudut bibirnya seolah berkedut karena rasa bersalah. Dia seolah menyesal sepenuh mati melakukan seks indah tadi. “Kamu tadi...” Aku tidak bisa menjawab. “Apa saya tadi...?” Dia tidak bisa melanjutkan. Aku mengangguk. “Apa kamu... nggak ingat?” Napas Faisal menderu. Dia terduduk. Tampak ketakutan. “Badan saya sekarang dingin,” katanya. “Saya ingat semuanya. Semuanya. Tapi... saya nggak percaya saya ngelakuin itu. Pasti ada yang ngendaliin saya.” Faisal tampak malu. Imut-imut malu. Dia tidak berani menatap ke arahku. Dia seolah baru saja memperkosaku. Lalu, merasa takut polisi akan menangkapnya. Padahal secara teknis, aku lebih-lebih menikmati seks itu dibandingkan dia. Lalu, dia nyaris menangis. Dia menyesal sekali lagi. Sangat-sangat menyesal. Aku mengamati Faisal seraya mengerutkan alis. Kenapa ya dia? Apa yang terjadi padanya tadi? Kupikir... kupikir dia memang pengin melakukan itu. Mungkin karena hujan. Suasana romantis. Mungkin aku menarik. (Yah, dibandingkan Faisal, aku lebih menarik.) (Apalagi dibandingkan Ayysell.) Mungkin dia mabuk. Mungkin dia... Tunggu... Aku jadi teringat sesuatu. Aku pernah ikutan pengajiannya Pak Haji Nasir. Tahu Pak Haji Nasir? Itu, guru ngaji yang ditaksir Ibu. Pak Haji Nasir suatu waktu pernah bilang padaku, dan anak-anak di kampung itu, tentang kesurupan. “Kalau kamu merasa dingin tiba-tiba, berarti ada makhluk halus yang melewati tubuhmu. Energi kalian bersinggung sejenak, dan perasaan dingin itu mendadak muncul selewat. Tapi kalau kamu merasa panas tiba-tiba...” Saat itu Pak Haji Nasir sengaja menggantungkan kalimatnya dan menatap kami satu per satu. Mungkin mendramatisasi. Supaya menyeramkan. Setelah itu dia melanjutkan, “... berarti ada makhluk halus yang sedang mencoba mengontrol tubuh kamu.” Dan, beberapa menit sebelum seks itu terjadi, di tengah hujan badai, di tengah suhu yang jelas-jelas dingin, Faisal kepanasan. Apa dia...? -XxX- “Cuma itu pesannya?” selidik Ibu. “Ya. Cuma itu.” “Kalau bulan kemarin, apa pesannya?” “Nggak ada pesan. Dennis cuma... menghilang.” Dicky menelan ludah. Ragu menyebut kata itu lagi. Takut diejek Ibu lagi. “Bagaimana menghilangnya?” “Seperti kabut asap.” Dicky mendesah. “Menjadi bias. Menjadi kabur. Menjadi samar. Tapi Dicky masih ingat dengan jelas—“ Ibu menangis. Dicky bahkan tak sempat menyelesaikan kalimat Dicky. “Kenapa, Ibu?” “Apa kamu bilang? Menjadi kabut asap?” “Mungkin kabut asap. Nggak jelas juga. Dicky nggak begitu ingat. Tapi Dicky—Ibu kenapa?” “Jadi mitosi tu benar?” Mitos? “Ibu?” Dicky menghampiri Ibu dan menggenggam tangannya. Ibu tampak terguncang. Kedua tangannya gemetar. Kedua bola matanya berlinang. Kedua katup bibirnya menganga. Ibu seperti baru melihat almarhum Bapak di depan matanya. “Ibu?” “Apa kamu yakin, dia menjadi kabut asap?” Dicky menyesal sudah menceritakan ini. “Ya, kabut asap,” jawab Dicky akhirnya. Dan Ibu pun menangis. Sesenggukan. Dicky berlutut di hadapan Ibu, merasa bersalah telah membuat Ibu menangis. Dicky memeluk Ibu yang membungkuk menahan cekat di tenggorokannya. Dicky mengusap bahu Ibu, menenangkannya. “Itu cupid,” kata Ibu. Persis yang dibilang Agas. “Siapa yang cupid?” “Dennis. Dia betul-betul cupid.” Ibu menangis lagi. “Ibu,l upain aja yang barusan. Barangkali Dicky ngelantur. Ibu tidur, ya? Dicky anterin ke kamar.” “Dennis itu sekarang cupid,” jawab Ibu, masih bercucuran air mata. Tangannya mengelak uluran Dicky. Wajahnya berpaling dan melemparkan tatapan serius. “Dia menjadi cupid untuk satu alasan. Begitu alasannya terpenuhi, dia akan pergi.” “Nggak ada yang namanya cupid, Ibu,” tegas Dicky. “Dia menjadi cupid untuk membantu kamu nemuin orang yang kamu cintai.” “Dicky nggak percaya cupid.” “Siapa yang ada bareng Dennis waktu kamu ngelihat dia.” Dicky berdecak kesal dan mulai berdiri. Dicky benar-benar menyesal pernah mengangkat topik soal ini. “Dicky lihat Dennis bareng Agas. Tapi mungkin itu halusinasi Dicky doang, mungkin itu pantulan cermin dari—“ “Jadi tugas dia buat ngejodohin kamu sama... Agas?” “Ibu bilang apa, sih?” Ibu menelan ludah dan kembali duduk tenang. “Mungkin Ibu belum pernah cerita soal perjanjian rahasia ini. Soal apa yang diceritakan Nek Alia ke Ibu bertahun-tahun lalu, sewaktu kamu masih remaja, sewaktu Dennis pertama kali pergi. Kata Nek Alia, ‘Dennis ada di dunia lain, untuk sebuah tugas dari Sang Pencipta. Siapa pun orang pertama yang dilihat Dicky sedang bersama Dennis... adalah pasangan kekasihnya masa depan, Dennis akan menjodohkannya. Itu satu-satunya tugas cupidnya.’” -XxX- Jadi, pada akhirnya, apa kalian ingin membuat rahasia? Bersamaku, misalnya. Bukan tentang siapa selingkuhan kalian. Bukan tentang cowok yang diam-diam kalian taksir di kantor, atau di sekolah, atau di ujung gang, padahal kalian punya pacar membosankan yang hanya sanggup diajak pacaran melalui LINE. Rahasia tentang rasa penasaran. Tentang aku mencuri beberapa lembar catatan tulis ulang jurnal buatan Faisal. Tanpa bilang-bilang. Lalu, aku membawanya ke angkot, dan menyelesaikannya sampai halaman sembilan. Aku tahu, Faisal akan sangat membutuhkan ini. Dia, kan mau membuat buku. Paling-paling dia akan meneleponku. Paling-paling aku akan mengembalikannya. (Setelah kufotokopi.) Dari situ, entah aku kesurupan atau diam-diam mencari sensasi, aku mendapati diriku menaiki angkot Caheum-Ledeng, arah ke Ledeng. Aku turun di simpang yang ada McDonald-nya. Berjalan sedikit menuju kompleks perumahan yang kemarin menyelenggarakan Pameran Tumaninah. Aku sudah membaca jurnal Friday Night itu. Meski belum selesai. Meski belum mengerti maksudnya ke arah mana. Sejauh ini kesimpulanku: ada tokoh bernama Dicky, ibunya Dicky, Agas Entah-Siapa, Dennis yang bikin semua terharu, Cazzo yang disebut-sebut, Esel yang kuharap bukan Ayysell, hingga berkali-kali membahas cupid. Rasa penasaranku bukannya membunuh kucing, tetapi membawaku kembali ke rumah tua itu. Rumah nenek sihir, katanya. Rumah yang kini sepi. Diberi garis kuning polisi. Tampak muram. Tampak gelap. Dilewati oleh tukang nasi goreng yang terburu-buru hanya ketika melewati rumah itu saja. Aku ingin mengerti apa maksud jurnal itu. Aku tidak mengerti mengapa aku ingin mengerti. Namun ketika aku berdiri di hadapan rumah itu, aku merasa inilah yang seharusnya kulakukan. Aku berdiri dengan tegak, menatap lurus ke arah pintu depan, dan .... “Embeeer! You pikir I mawar sama detseu, hah? Tinta lah, Tanteee... please, mikir pakai logistik! Iya, maksud I logika. You sutra bertahun-tahun ngobras sama I masih aja tinta ngerti bahasa I, em?” Ayysell?! Buru-buru aku bersembunyi di balik pohon besar. Banci dari neraka jahanam itu mendadak muncul di ujung jalan, berbicara dengan kencang sendirian. Padahal, ini sudah malam. Sudah pukul delapan dan jalanan kompleks basah karena hujan. Namun suaranya begitu khas. Kalung-kalung yang berkilaunya membuatku yakin kalau banci itulah yang datang. Ayysell seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Kukira dengan Cazzo. Namun, tidak. Dia bicara sendiri. Dia bicara dengan udara. Dengan apa pun yang melayang di sebelah kirinya. Dia berjalan menuju rumah disegel itu, melompati garis kuning polisi, dan masih asyik mengobrol sendiri. Dia, bahkan, tidak menyadari aku sedang berdiri dua meter darinya. Di bawah bayang-bayang pohon yang gelap. “Tinta-tinta-tinta! I mawar luluran pakai kembang margarita. Pokoknya, limosin menit, em. I tinta mawar maskara ke dalam lambreta lamborghini. Rumput laut! Rumpi! Sebentar aja, keleeuuss...” Ayysell seperti orang gila. Sebenarnya penampilannya juga membuat dia kelihatan gila. Namun ini benar-benar gila. Dia bicara dengan udara kosong di sampingnya. Lalu, dia masuk seenaknya ke rumah yang disegel itu. Memutar ke samping, menuju halaman belakang. Mengapa dia bisa seberani itu? Ini, kan rumah berhantu. Mengapa pula dia ada di sini? Apa dia ada hubungannya dengan rumah misteri ini? Ketika aku sedang asyik-asyiknya kebingungan atas kehadiran Ayysell di sini, sebuah tangan menyentuh pundakku, membuatku melompat kaget. Aku hampir mati. Jantungan. Seorang lelaki berdiri satu meter di hadapanku. Lelaki yang barusan menyentuh pundakku. “Siapa kamu?” tanyanya. Aku menyipitkan mata. Mencari cahaya lampu jalanan supaya bisa melihat siapa dia. Dia adalah... ... tunggu. Pantulan cemerlang dari matanya itu... Dia lelaki angkasa bermata cemerlang. Dia si pilot itu. Si lelaki yang katanya cucu pemilik rumah misteri ini. “Siapa kamu?” tanyanya lagi. “Kenapa ada di sini?” Aku menggeleng. “Aku nggak tahu.” “Kamu kenal Esel? Yang barusan masuk?” Aku menggeleng lagi. “Yah, pernah ketemu, sih....” “Kamu temannya?” Aku menggeleng kuat-kuat. Pertanyaan barusan harus dijawab setegas mungkin. Lelaki itu memiringkan kepala. Seolah mengamatiku. Seolah mencari sesuatu dari tatapan mataku. Kemudian, aku melihat matanya berair. Dan, aku melihat dia menghapus air yang mulai menggenang di sudut matanya. Dia menarik napas. Mengendalikan diri. Lalu, dia berkata lagi padaku. “Saya téh nggak tahu siapa kamu, tapi saya tahu mungkin kamu bisa bantu saya,” katanya. Aku tidak mengerti. Namun aku hanya mengangguk saja. Seperti orang tolol. “Saya cuma pengin tahu,” katanya. “Kenapa mukakamu mirip banget sama Agas?”

:: Lelaki hujan

Apa kalian ingin membuat rahasia hari ini? Kalau boleh, aku ingin. Rahasiaku bukan super-mega-high-priority secret seperti semua X-files di serial Amerika. Rahasiaku bukan kisah kelam pemerintahan negara, yang bisa diretas mahasiswa jurusan teknika. Rahasiaku sepele. Rahasiaku setara rahasia Ibu soal Pak Haji Nasir dari RW 007. Iya, betul. Katanya, Ibu pernah naksir Pak Haji Nasir. Aku sempat tahu, tapi sekarang Ibu membuatnya rahasia. Ibu tidak membandingkan lagi Pak Haji Nasir dengan Ayah. Ibu juga tidak kelihatan lagi ikut pengajian Pak Haji Nasir demi ngeceng ketampanannya. Yang menurutku sih nggak tampan, ya. Bapak-bapak berkumis, gitu lho. Bukan tipeku. Dan, aku akhirnya belajar untuk membuat rahasia. Persis seperti Ibu. Persis seperti Ayah yang membuat pertemuannya bersama Neng Surti di BTC sebagai rahasia berdua. (Tapi aku tahu. Karena saat itu aku juga sedang di BTC.) Rahasiaku hari ini... ... ... tentang libidoku yang campur aduk. Lalu aku, berkhianat. Aku memulai pagi dalam kegelisahan. Gelisah antara aku masih bermimpi indah, atau aku memang seberuntung itu. Bayangkan saja ini: aku bangun dalam pelukan lelaki berefek toko roti. Dalam Bahasa Sunda, dibaca: mustahil. Dalam Bahasa Arab: muzz-takhiel. Mungkin kalian masih ingat siapa lelaki berefek toko roti ini. Dia adalah ordo lelaki yang mampu membuat banyak orang menoleh karena terpesona. Persis Breadtalk, jujur saja. Nama lelaki itu Cazzo. Kuar wangi tubuhnya khas. Secara spesifik, wangi lelaki. Secara spesifik lagi, wangi yang membuatku rela menghidunya seharian, mengisap setiap jengkal kuar yang menyebar dari permukaan kulitnya. Yang—sebagai informasi tambahan—berkulit mulus seperti bayi. Yang membuatku tak percaya ada lelaki berkulit semulus itu. Iya. Aku bangun dalam pelukannya. Lengannya sudah ada di bawah tengkukku ketika aku membuka mata. Lengan itu menjuntai di bahuku, jemari tangannya menggelitik tulang rusukku. Lalu, aku menemukan tangan yang lain melintang di atas perutku. Seolah menyatakan, “Jangan pergi. Aku ingin kamu ada di sini...” Ketika otakku selesai loading-nya, aku menemukan hidungku sudah tenggelam di ketiaknya. Dan rasanya... seperti surga. Bukan karena ketiaknya. Bukan karena mataku tepat menatap putingnya yang merah. Bukan karena tak sengaja tanganku ada di atas selangkangannya. Namun karena fakta bahwa aku juga sedang memeluknya. Karena fakta bahwa kami terlihat seperti pasangan romantis. Jantungku memompa lebih kencang ketika fakta itu menghantam otakku. Napasku memburu, mungkin menggelitiki ketiaknya. Namun Cazzo sedang terlelap. Dia mendengkur. Pelaaan sekali dengkurannya. Sehingga dia tak menyadari sama sekali, aku dalam fase setengah pingsan bisa dipeluk olehnya. Semua itu kunikmati selama satu jam lamanya. Aku tak berani melihat jam. Lebih tepatnya, aku tak mau merusak posisi itu. Namun,aku tahu langit masih gelap. Kuperkirakan saja. Mungkin ini pukul empat atau lima dini hari. Sehingga... satu jam kemudian, aku tertidur lagi... setelah menikmati enam puluh menit penuh debaran bahagia. Setelah aku merekam setiap inchi tubuhnya, demi bahan masturbasi di rumah nanti. Lalu aku bermimpi indah. Dan, terbangun tepat pukul tujuh pagi... .... ... tanpa Cazzo di sampingku. Tak apalah. Cazzo pasti sudah bangun dari tadi. Ketika aku membuka mata, aku sendirian di kamar itu. Ruangan kamar terang karena sinar mentari, bukan lampu lagi. Posisiku nggak keruan. Persis kalau aku tidur berantakan di kasurku sendiri. Bekas Cazzo tidur masih terhampar di sana. Bahkan, masih hangat. Selimutnya pun tampak baru saja dikuak lima atau sepuluh menit yang lalu. Aku mendengar banyak bunyi denting di dapur, ditambah Spongebob di TV ruang tengah. Ada suara kompor gas dinyalakan. Lalu bunyi denting. Lalu Patrick tertawa. Dan Squidward marah-marah. Lalu denting lagi. Suara membuka kulkas. Kemudian, Spongebob berteriak, “Patrick! Lihaaattt!” Aku tidak tahu itu episode yang mana. Lalu, entah mengapa mendadak suara presenter TvOne terdengar. “Selamat pagi. Anda masih di Apa Kabar In—“ Lalu suara Raffi Ahmad muncul, sedang bersahut-sahutan. Mungkin Dahsyat. Mungkin Cazzo sedang mengganti channel. Terakhir, suara kompor gas dimatikan. Dan, Cazzo memanggil. “Adeeek?” Tanpa pikir panjang aku melompat dari ranjang. Kukenakan celana jins dan kausku yang bau ayam dijemur. Aku berusaha merapikan riasanku. Yang tampaknya sia-sia. Karena rambutku sedang dalam mode chihuahua kesetrum. Bagaimana kalau Cazzo sudah mandi di luar sana? Sudah berbusana rapi dan tampak seperti anak orang kaya? Sementara aku? Anak kampungan dari desa. Jins-nya murahan dan baunya nggak keruan. Apa aku perlu mandi dulu? “Adeeek?” “Oooiii!” balasku. Mungkin, biar saja aku tampak seperti ini. Toh aku baru bangun tidur. Bukan salahku gaya rambut seberantakan ini. Dan, Cazzo pasti sudah melihatku bersama celana dalam kuning murahanku tadi. Ya ampun... aku nggak berani membayangkan itu. Membayangkan Cazzo terbangun, menemukanku tidur telanjang berhelai celana dalam semata. Mungkin dia geleng-geleng kepala. Mungkin dia bergidik jijik, makanya dia pergi tanpa membangunkanku. Atau mungkin dia menertawakanku. Ya Tuhan. Aku jadi malu. Tahu begitu aku pakai celana jins-ku saja. ... Tahu begitu aku tak perlu menginap saja. Mungkin memang aku bukan jodohnya Cazzo sampai kapan pun. Ayysell-lah yang cocok. Mungkin celana dalam Ayysell mereknya Victoria Secret, jadi dia tak pernah tampak memalukan sepertiku barusan. Aku akhirnya memutuskan untuk melempar diriku apa adanya. Kalau tampak kampungan, ya sudahlah. Terima saja bahwa Cazzo memang tak pernah tercipta untukku. Terima saja bahwa aku harus mencari yang lebih masuk akal. Derry misalnya. Oh, Tuhan. Aku lagi nggak mau lihat hape. Ketika aku berjalan ke dapur... ... ... aku justru menemukan Cazzo masih telanjang. Maksudku, dia hanya mengenakan celana dalam segiempat hitamnya. Aku ingat, bahasa inggrisnya trunk. Celana dalam yang seperti hotpants. Serendah tepian jembutnya. Sependek garis selangkangannya. Dan kelaminnya tercetak jelas. Dia biarkan menggembung seperti sedang menyembunyikan gumpalan kaus kaki di dalamnya. Dan bahkan, Cazzo tampak lebih berantakan dibandingkan aku. Hanya saja dia versi “kelihatan bagus dan so sweet”. Rambutnya acak-acakan, tapi persis artis Hollywood ganteng baru bangun tidur. Ada bekas cetakan tidur di tubuhnya, mungkin bekas bantal yang tertindih, atau selimut yang terjepit. Untuk membuatnya tampak imut-imut menggemaskan... dia ternyata sedang membuat omlet. “Gue bikin omlet!” serunya senang. Kedua tangannya terangkat ke atas, persis petinju yang baru menang. “Nggak tahu enak, nggak tahu beracun, hahaha... makan aja lah!” Diakhiri dengan cengiran lucu yang bikin gemas. “Lo suka omlet nggak, Dek?” “Suka.” Meski tentunya, aku nggak pernah makan omlet untuk sarapan. “Sini duduk! Makan dulu. Kalo keasinan, bilang ya!” katanya. Nggak usah, batinku. Kalau makannya sambil lihat kamu sih, omlet asin juga aku nggak akan peduli. Kami makan di meja makan mewah sambil menonton TV. Tentunya Cazzo bercerita soal sejarah masak-memasaknya. Yang diakuinya nightmare. Dia nggak bisa masak, katanya. Mungkin iya. Tapi omletnya oke, kok. Bukan yang terbaik, tapi bukan yang terburuk. Kalau saja dia mau membangunkanku, mungkin aku bisa membantunya mengocok telur. Masalahnya, aku tak bisa menikmati omlet itu karena visualku terganggu. Aku yakin kalian juga akan merasakan hal yang sama. Bayangkan ini: satu meter di depanmu, ada lelaki menarik yang 90% telanjang. Lalu kalian makan omlet berduaan saja. Dan putingnya itu menarik perhatian. Dan perut ratanya. Dan bagaimana kurusnya lelaki itu tampak memukau—bukan kurus menjijikkan yang membuatmu bersimpati. Lalu hamparan kulit mulus itu... Oh, ya Tuhan... aku bahkan tak bisa berhenti mendeskripsikan kulit mulus itu. Karena itulah poin utamanya! Kelaminku tegang sepanjang sarapan. Pagiku terasa lebih berkobar-kobar dibandingkan biasanya. Aku tak akan menampik rasa ingin berkhianat dari Derry. Tentu saja, aku tidak mencintainya hingga detik ini. Namun dia kekasihku secara teknis. Sehingga kalau aku begini begitu dengan orang lain, secara teknis pula aku berkhianat. Dalam benakku mulai tersusun beragam rencana memanfaatkan Cazzo agar mau bergumul denganku. Hanya fantasi saja, tentu. Toh aku homoseksual normal. Homoseksual yang otomatis membayangkan ranjang melihat Cazzo kondisinya seperti itu. Mungkin aku bisa mengajaknya nonton TV di sofa setelah makan? Lalu kami akan mengobrol berdekatan. Lalu entah bagaimana caranya, kami berdua telanjang dan menggesek-gesekkan kelamin? Hahaha. Mimpi,ya. Atau mungkin bisa kucoba? Siapa tahu. Maksudku, kalau Cazzo saja bisa tertarik pada dugong Ayysell itu, aku percaya dia juga bakal tertarik pada lelaki sepertiku. Bahkan, aku sudah merelakan diri kalau aku harus mengenakan kalung-kalung etnis, andai memang Cazzo menyukai hal-hal kinky seperti itu. Mungkin di salah satu laci di rumah ini ada kalungnya Ayysell? Aku kan bisa pinjam. Dan, gara-gara aku kebanyakan berfantasi soal itu, kini perut bawahku sakit menahan orgasme. Sayangnya, fantasiku buyar lima menit kemudian ketika bel vila berdenting. Cazzo menatapku sambil mengangkat kedua alisnya. “Siapa itu?” tanyanya. Aku mengangkat bahu. Masih sambil telanjang seperti itu, Cazzo bergegas ke pintu depan. Aku masih berpikir mungkin itu penjaga vila yang mau mengantarkan pesanan atau menyiram kebun. Namun, ketika tamu itu masuk... jantungku copot. Tamu itu Ayysell, ternyata. -XxX- Si Dugong sedang mabuk. Matanya berputar-putar. Kalau aku mengamati dengan seksama, aku jadi ikutan pusing. Dia mengenakan kostum kebesarannya: hotpants motif Burberry, sepatu bots berumbai, kaus polo ketat yang kancingnya tak bertaut, kalung rantai emas, dan gelang-gelang gemerincing. Padahal, sehari-hari jalannya sudah seperti bangau. Pagi ini, jalannya seperti bangau menari salsa. Cazzo sampai membopongnya masuk. Dan aku membantunya berbaring di sofa. Satu-satunya hal yang membuatku bisa menahan panik adalah keputusanku mengenakan semua bajuku. Bayangkan kalau aku sarapan berlapiskan celana dalam kuning kampunganku saja. Mungkin Ayysell bisa otomatis sadar dari mabuknya kemudian membunuhku. Untung sekali dia mabuk. “Ayank kenapa sih mabuk-mabukan aja?” kata Cazzo ngambek. Dia duduk di samping Ayysell sambil mengusap kening kekasihnya, menghalau poni yang mengganggu. “Taaam... tararam tam-tam... Akuuu boneka yaaang paling lucuuu...” Ayysell malah menyanyi. “Ini, nih... kenapa aku nggak suka kalo ayank pergi dugem—“ “Masssaaa siiihhh?” telunjuk Ayysell bermain-main di hidung dan bibir Cazzo. “Akuuu boneka yaaang paling imuuut...” “Ngapain aja semalem?” Alis Cazzo bertaut. Kalau sedang ngambek begitu, aku jadi gemas ingin mencubit pipinya. “Ngapain yaaa... kasih tau nggak yaaa...” Lalu Ayysell bersendawa. Keras, sekali. Sebisa mungkin aku menutup hidung, tanpa kelihatan kentara. Kecuali Cazzo. Yang tampak tak terganggu dengan sendawa menjijikkan itu. “Siapa yang nganterin barusan?” “Pam pam, parampam...” “Yank? Jawab, dong. Siapa yang nganterin barusan?” “Gapai seeemuah... jemmmaaarikuh... rangkul eeeyke dalam—hik!“ Selama dua menit berikutnya, Ayysell menyanyikan lagu Rossa. Diselingi cegukan beberapa kali. “Aku... hik! Tegaaarrr...” Kami jelas meninggalkannya di sofa untuk beberapa saat. Cazzo mengambil air minum. Dia tampak frustrasi. Sesekali, kupergoki dia salah tingkah menatap ke arahku. Mukanya memerah. Ya ampun, apa dia malu melihat kelakuan Ayysell di depanku? Nggak apa-apa, lagi. Toh memang dugong ini nggak bisa diharapkan. Kalau si dugong mabuk-mabukan, bukan salah Cazzo juga. “Maaf, ya...” bisik Cazzo tanpa berani menatap mataku. “Esel emang...” Cazzo mengangkat bahunya. “Mudah-mudahan lo nggak risih atau apa—“ “Ah, nggak apa-apa.” Aku nggak risih karena Ayysell mabuk. Aku risih karena Ayysell jadi pacarmu, Kak. “Aku bawain selimut,ya.” Ayysell masih menyanyi. Kali ini lagu Titi DJ. “Sedalam dalam cintamuuuhhh... kuselami... warna-warna terrr—hik! Indah yang adaaa...” Bersendawa. “Diii... bumiii...” “Ayank, udah!” Cazzo menepuk-nepuk pipi Ayysell supaya sadar. Sampai detik ini, aku masih dilanda kecemasan. Aku masih takut Ayysell mendadak sadar dan menemukanku ada di sini. Titahnya kan sudah jelas: aku nggak boleh mendekati Cazzo dalam skenario apa pun. Apa jadinya kalau dia menemukanku menginap bersama kekasihnya? Jadi, dalam hati yang paling dalam, aku justru berharap Ayysell tetap mabuk. Kalau perlu berminggu-minggu mabuknya. Lalu dia berjalan terhuyung-huyung ke kolam renang. Tercebur. Dan, tenggelam. Andai saja bisa terjadi. Aku kembali membawa selimut dari kamar. Kubantu Cazzo menata selimut itu menutupi setengah tubuh Ayysell. Wajah Cazzo tampak cemas. Dan, aku iri. Ingin sekali aku punya lelaki yang sekhawatir itu ketika aku sakit. “Hihihi... hihihi...” Lagu yang disenandungkan Ayysell mulai tak dapat dikenali. “Lompat satu, lompat duuuaaa... ada malaikat, itunya melooorrrooottt... hihihi...” “Lagu apa itu?” tanyaku. Cazzo menggeleng. “Lagu favoritnya. Tapi, gue nggak pernah tahu judulnya apa. Ayank... udah, ayank... ini minum.” Ayysell sama sekali tidak mengindahkan segelas air putih yang sudah dibawakan Cazzo tadi. “Hihihi...” Kemudian, lagu itu berhenti. Pandangan Ayysell jatuh ke arahku. Matanya menyipit. Dia berusaha mengenaliku. Dia berusaha mencari tahu kenapa aku ada di sana. “Kamu...” Oh, tidak. Jangan sampai dia menyadari kalau ini aku. Ya Tuhan. Apa aku sebaiknya pergi sekarang? Pura-pura ke kamar mandi? Atau bereskan meja makan dan pergi? Ayysell! Berhenti! Mabuk lagi saja! Jangan mengenaliku! “Kamu... Mang Toto?” Ayysell bahagia sekali bisa menebak wajahku. “Mang Totooo... bikinin I lollliiipop! Dooong!” “Ini bukan Mang Toto,” kata Cazzo. “Ini kan yang waktu itu—“ Buru-buru aku memotong Cazzo. “Lolipop, ya? Oke!” Aku tak peduli dianggap penjaga vila. Yang penting dia tidak tahu aku di sini bersama kekasihnya. “Bentar.” Aku berlari ke dapur seolah akan membuatkannya lolipop. Di sana aku duduk bersembunyi. Memikirkan cara kabur terbaik. Apa alasan yang harus kukatakan pada Cazzo kalau aku mau pulang duluan? Kucingku masuk sumur lagi? Lagian, kalau aku pulang sekarang, memangnya aku tahu ini ada di mana? Jelas sekali di depan vila ini tidak ada angkot maupun ojek. Di tengah kegelisahanku, aku malah bangkit dan naik ke lantai dua. Tubuhku seolah bergerak otomatis, memposisikan diri sejauh mungkin dari Ayysell. Aku sempat masuk ke kamar mandi lantai dua, tak punya bayangan mau ngapain di sana. Karena aku yakin Cazzo dan Ayysell benar-benar berpikir aku sedang membuat lolipop, aku menghabiskan waktu cukup lama di sana. Aku mondar-mandir di salah satu kamar besar di situ. Menggigit kukuku. Sesekali menengok ke tangga, berniat untuk turun dan menemui mereka lagi. Namun setelah setengah jam berada di sana, aku malah dikagetkan oleh sosok anak kecil bermata cemerlang. “Argh!” Aku terkesiap sampai nyaris jatuh dari atas tangga. Anak kecil itu duduk di meja kayu dekat balkon. Dia menatapku sambil memiringkan kepalanya. Kakinya juga berayun-ayun. Apa dia hantu? Kenapa dia terus mengikutiku? Selama sepuluh detik lamanya aku membeku ketakutan. Kehadiran sosok itu rupanya lebih menyeramkan dibandingkan kehadiran Ayysell di sini. Dan sosok itu hanya duduk saja di sana. Tidak terbang ke arahku lalu mencekik atau apa. Dia bahkan tidak bersenandung atau cekikikan seperti kuntilanak. Hanya duduk. Dan, buatku itu lebih menyeramkan. Setelah mengumpulkan lagi kekuatan, aku turun perlahan-lahan ke lantai bawah. Napasku lebih memburu dibandingkan saat kedatangan Ayysell tadi. Kepalaku bahkan celingak celinguk atas bawah, memastikan bocah itu tidak mengejarku. Ketika aku sampai di anak tangga terakhir, badanku penuh keringat dingin. Namun aku masih saja membayangkan si hantu bocah akan melayang lalu mencekikku dari belakang. (Maka dari itu aku selalu menoleh ke belakang setiap dua detik sekali.) Aku harus memberitahu Cazzo, batinku. Harus. Ketika aku sudah siap meneriaki Cazzo dengan, “Di atas ada penampakan! Ada hantu!” Aku dipaksa mengurungkan pengumuman tersebut. Karena ketika aku tiba di ruang tengah... ... ... Cazzo sudah telanjang bulat. Pun, Ayysell. Baju-baju mereka berceceran di sekitar sofa, dan Ayysell sedang duduk di atas perut Cazzo. Mereka berdua berciuman. Dengan mesra. -XxX- Aku tak punya alasan lagi berada di sana. Tanpa pamit, aku pergi. Aku meraih ponselku dan bergegas keluar. Mereka bahkan masih bercumbu meski aku sempat mengacung-acungkan tangan menarik perhatian dari arah TV—jujur, awalnya aku ingin pamit. Apa daya, kondisi pun tak mengizinkan. Aku menyusuri jalanan komplek vila mewah hingga menemukan pos satpam. Dari sana aku diberitahu untuk berjalan jauuuh sekali sampai mendapatkan angkot. Begitu menemukan angkot oranye Caringin-Dago, rasanya hidup ini indah. Mulai saat itulah aku kembali ke kenyataan bahwa aku ini hanya Niko anak tukang lotek. Derry, tentu, sudah ada di depan gang rumahku ketika aku turun dari angkot. Tapi dia sudah kujinakkan lewat sms. “Pokoknya aku mau pulang dulu. Entar sore aja aku ketemu kamu.” Derry meludah. Kembali ke wataknya. “Pokokna, aing nunggu di sini!” “Ya udah.” Namun pada akhirnya, pukul setengah dua siang, aku sudah ada di kosan Derry. Diam di rumah rupanya ide yang buruk. Ibu menyuruhku ini itu. Sementara mood-ku sedang tidak dalam koridor yang sama. Aku hanya ingin bermalas-malasan. Dan, di seantero kecamatan ini, kelihatan jelas Derry-lah rajanya malas-malasan. Derry, ajaibnya, tidak banyak bicara. Dia mendapat gitar butut hasil malak di RW 008. Katanya punya si Boreng, anak SMA Pasundan. Derry bilang, si Boreng porenges anaknya. Maksudnya: belagu. Jadi Derry ambil gitar butut itu, dia betulkan senarnya, dan dia mulai menghiasi ruangan kecil ini dengan suara serak tak beraturan nada. Jreng-jreng-jreng... “I miss you but I hateyooouuu... my giiirrlll...” jreng-jreng-jreng... Lagu pertama, Slank. Lagu kedua, Jikustik. Aku lupa lagi judulnya. Bukan itu yang membuatku akhirnya cekikikan dan memperhatikan Derry lebih seksama. Beginilah Derry ketika salah tingkah. Aku menemukan wajahnya memerah setiap aku perhatikan dia lebih lama. Kalau tatapanku sudah keterlaluan, dia akan menyentak, “Apa, Njing! Lihat-lihat aja!” Lalu dia memalingkan muka, dan tersenyum sedikit-sedikit. Tidak ada yang kulakukan sepanjang sore di kosan Derry. Aku hanya telungkup di atas bantal, memperhatikan Derry menyanyi dan membuat lagu. “Ini lagu buat si Boreng,” katanya, lalu bersenandung, “Boreeeng... Oh, Boreng! Mukamu kayak koreeeng...” jreng-jreng-jreng, “Kalau lewat kagak ngemeeeng... oh-oh-oh... kontolmu juga sedeeeng...” Aku tertawa. Derry juga tampak mempesona. Setelah sms manis yang dia kirimkan semalaman, dia berpenampilan manis pula hari ini. Bajunya bersih. Bisa jadi dia sudah mandi. Sleeveless butut favoritnya itu sablonannya pudar. Namun tampak macho di badan Derry. Dia juga mengenakan celana pendek jins yang longgar. Yang memang sengaja begitu supaya bagian pinggangnya selevel sama selangkangan. Entah dorongan libido dari mana, Derry kelihatan menarik lima kali lipat secara seksual hari ini. Atau mungkin... gara-gara adegan pagi hari tadi? Sesuatu yang seharian kucoba lupakan. Ya, aku tak akan menangkis fakta bahwa aku masih menyimpan hasrat bercinta dengan Cazzo. Hasrat itu terus berputar di bawah perutku, kadang membuat perutku sakit, kadang membuat selangkanganku pegal. Aku bisa saja masturbasi untuk melepaskan semua beban itu. Namun tak bisa... Karena pemandangan yang kulihat juga tak kalah mengganggunya. Pertama, hantu anak kecil itu. Hantu yang membuntutiku ke mana-mana. Yang membuat tengkukku bergidik setiap mengingatnya. Yang membuat benakku sekarat karena penasaran mengapa dia terus ada di sana. Aku nyaris menghubungi Faisal untuk menceritakan pengalaman spiritualku itu. Bagaimanapun juga, hantu itu membuntutiku sejak aku menghadiri festival itu. Kedua, aku masih belum sanggup melupakan figur Ayysell, telanjang, sedang bercumbu bersama Cazzo di atas sofa. Rasanya... kamu tahu... menjijikkan. Aku berusaha menangkis sosok Ayysell telanjang itu, langsung menyibukkan diri atau bernyanyi tiba-tiba... tapi lengan kurus Ayysell tetap memenuhi otakku, aaargh... dan juga paha berselulit itu... eeewww... Setiap kali aku berniat untuk onani sambil berfantasi tentang Cazzo, sosok Ayysell menghancurkan semuanya. Jadi pada akhirnya, aku hanya membiarkan diriku tersiksa. Nyanyian dari Derry justru—sedikit banyak—menghiburku. “Nico!” Derry berhenti bernyanyi. “Sia diem aja! Kenapa?” Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku lagi nikmatin kamu nyanyi aja...” “Wah?” Tautan alisnya menunjukkan dia tak percaya. “Suara aing kan busuk. Sia nyindir, hah?” “Buat apa aku nyindir?” Kali ini, alisku yang bertaut. Karena tersinggung. “Terserah aku dong, mau nikmati nyanyian siapa aja!” “Oh.” Derry manggut-manggut. Mukanya memerah. Dia menepuk beberapa kali gitar bututnya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu, setelah keberaniannya terkumpul, dia utarakan juga. “Nico... ewean, yuk?” Aku cekikikan dalam hati. Gemas melihat tingkah Derry yang tidak biasa itu. Maksudku, sampai hari kemarin, dia akan melucuti bajuku dengan paksa, lalu nungging, lalu aku diminta memasukkan kelaminku ke duburnya. Semua tanpa pemanasan... apalagi perasaan. Tidak pernah dalam sejarah hubungan seksual kami, Derry mengajakku seformal itu. Sayangnya, aku menggeleng dengan tegas. “Aku lagi nggak mau.” “Ayolah...” Derry meletakkan gitar itu di atas meja, lalu telungkup di sampingku. Persis sepertiku. “Si Memey belum ada yang nengok.” Memey adalah sebutan untuk lubang pantatnya. Karena tidak mungkin itu disebut memek, jadinya dia sebut memey. Aku tetap menggeleng. “Akunya lagi capek.” “Njing! Nginep doang bisa capek. Cepet, lah... diewe, yeuh...” Derry otomatis menelanjangi dirinya. Ya, dia sudah mandi. Aku bisa mencium wangi sabun dari kulit tubuhnya. Ketika Derry mengangkat tangan untuk melepas kausnya, dia mengingatkanku pada Cazzo. Ketika dia melorotkan celananya, pun dia membangkitkan fantasiku akan Cazzo. Dan dia duduk sambil telanjang di sampingku. Pemandangan yang sebenarnya sering kutemui empat tahun terakhir. Namun hari ini... rasanya berbeda. “Hayuk!” ajaknya. Aku tetap menggeleng. “Sok, lah... sekarang mah gimana sia, Nico... mau eweannya versi sia juga is okay...” bujuknya lagi. “Mau nyepong, kan?” Diam enyodorkan alat kelaminnya. Wow. Ini pertama kalinya benda itu disodorkan di depan mukaku. Dalam rangka oral sex, pula. Kemajuan yang sangat pesat dalam hubungan seksual kami. “Atau aing diiket? Kayak film bokep di hape sia ituh!” “BDSM?” “Yah itulah. Sok, aing mau lah... nu penting sia ngewe aing.” Tawaran yang seksi, kalau boleh dibilang. Kelamin kebanggaan Derry menggantung megah di hadapan wajahku. Aku akhirnya bisa mengamati bekas luka sunatnya Derry, atau lebatnya jembut yang keriting itu. Wanginya juga khas... seperti... Yah, seperti kelamin laki-laki lainnya. Tidak pernah sebelumnya aku merasakan gelenyar gairah seperti ini terhadap Derry. Biasanya gairahku akan bercampur rasa takut, rasa jemu, hingga rasa jijik karena aku harus menyodomi Derry lagi dan lagi. Kalau kamu tidak keberatan aku menyampaikan satu fakta ini: ya, kadang kotorannya ikut keluar ketika “proses itu”, yang otomatis membuatku mual. Tapi aku tidak akan membahas soal itu. Sudah cukup menjijikkan prosesnya kualami, tak perlu diceritakan ulang. “Kemon, broooh!” serunya. “Sia sok jaim pisan, Njing! Inih! Suka, kan?” Alat kelaminnya ditampar-tamparkan ke mukaku. Ya, aku suka, batinku. Tapi nggak dalam momen ini. Aku tak akan menyangkal bahwa apa yang dilakukan Derry sekarang benar-benar seksi. Tapi aku juga akan jujur pada kalian... bahwa aku benar-benar tidak mood berhubungan seks. Apa aku perlu menyegarkan diri dulu? Maksudku, dengan sumpeknya kosan ini, Bandung yang panas, bayangan Ayysell telanjang sambil memutar-mutar kelaminnya seperti Derry terputar di otakku, belum lagi aku agak lapar... Mungkin aku perlu cuci muka. “Aku mau ke kamar mandi dulu,” kataku, seraya bangkit. “Ngapain, Njing?” “Cuci muka.” “Biarin, lah! Muka sia tuh dicuci gimana pun juga, bakalan tetep gitu. Inih... aaa... buka mulutnya...” Aku menangkis suapan kelamin Derry. Dengan percaya diri aku berdiri dan meninggalkan kosan itu, turun menuju kamar mandi. Derry tentu saja membuntutiku. Dia melilitkan handuk bututnya, yang sebenarnya bolong di tengah sehingga belahan pantat Derry kelihatan, lalu merayu-rayuku sampai kamar mandi. “Ayo, Nico! Ah, sia mah!” Bahuku sampai ditariknya supaya kembali ke kamar. “Bentar, dulu... aku mau cuci muka dulu.” “Udahlah... Nggak usah dicuci segala mukanya. Kan bukan piring. Hayuk!” Aku mengabaikannya. Aku tetap pergi ke kamar mandi, diekori Derry yang kerepotan memasang handuk bututnya. “Atau sia mau ewean di sumur?” “Cuci muka doaaang... kenapa, sih?” “Tapi udah itu ewean, kan?” Tak kujawab pertanyaan itu. Yang kulakukan berikutnya hanyalah fokus menyegarkan diri. Mungkin sebenarnya aku perlu mandi. Atau spa—kalau aku punya uang. Mungkin aku juga akan sekalian gosok gigi. Jadi, aku membeberkan semua peralatan mandiku yang sudah kuletakkan di kamar mandi sejak dua hari lalu, dan mengambil pencuci muka. Semua berjalan lancar, kecuali bagian Derry terusmeraung-raung minta segera. Dari bayangan cermin kecil kamar mandi, aku bisamelihat Derry berdiri di pintu, menggesek-gesek punggungnya di daun pintu,mengira aku akan tergoda dengan tarian striptease-nya. Aku hanya memutar bolamata sambil kembali mengusap pipiku dengan pencuci muka. Ketika aku membasuh mukaku lagi, lalu menengadah untuk melihat sisa sabun di wajahku— “ARGH!” —sosok Derry sudah berganti... ... menjadi bocah kecil bermata cemerlang itu. -XxX- “Maaf aku jadi ngerepotin.” “Nggak apa-apa. Sini, masuk!” “Aku nggak tahu mesti ngehubungin siapa lagi. Temenku nggak ngangkat teleponnya. Satu-satunya nomor yang kuingat cuma nomor kamu.” “Ya udah, nggak apa-apa. Maaf ya kamarnya berantakan.” “Maaf karena kamu jadi mesti jemput aku.” “Eeeh... udah dibilangin nggak apa-apa. Ayo, sini masuk. Saya ambilin minum dulu.” “Nggak usah repot-repot. Mungkin aku cuma bentar aja.” “Lama juga nggak apa-apa.” “Kamu nggak ada acara hari ini?” Faisal berhenti sejenak lalu memutar otak. “Sebenarnya ada. Saya mau ke Pameran Tumaninah itu lagi. Tapi katanya hari ini ditutup. Ada garis polisi di mana-mana. Barusan saya juga baca tweet-nya infobandung, dia ngeretweet banyak orang Bandung yang ngetweet soal ditutupnya Pameran Tumaninah.” Ya, benar. Aku sedang bersama Faisal saat ini. Berada cukup jauh dari rumahku sendiri. Kabur dari Derry. Dan dalam kondisi tertekan. Bayangkan saja, satu-satunya kengerian yang tak pernah mau kualami, nyatanya terjadi beberapa jam lalu. Aku selalu punya paranoid ketika berada di kamar mandi, ketika pandanganku teralihkan sebentar dari cermin, lalu mendadak bayangan di cermin berbeda dengan kenyataan. Dan, itu terjadi padaku tadi. Jantungku rasanya copot. Sebadan-badan aku seperti kesemutan. Hantu bocah bermata cemerlang itu mengikutiku sampai kosan Derry. Dia hanya diam di sana, menatapku tanpa ekspresi. Menerorku. Ketika aku berbalik menghadapnya, Derry-lah yang ada di sana, bukan si bocah hantu. Tanganku sempat gemetar karena kejadian itu. Memang, durasinya hanya tiga detik. Namun aku bisa ingat dengan jelas bahwa bayangan di cermin itu benar-benar si bocah hantu! Semuanya tambah mengerikan ketika aku menghambur keluar dari kamar mandi sempit itu. Derry membuntutiku, masih sibuk memegangi handuknya. Satu-satunya yang ada di benakku adalah kamar tidur, kamar tidur, kamar tidur. Ada perasaan aman ketika aku membayangkan kamar tidur Derry. Mungkin sebaiknya bercinta saja dengan Derry. Pokoknya jauh dari kamar mandi terkutuk itu. Sayangnya, ketika aku sampai di kamar Derry, keberanian yang sedikit demi sedikit kucoba kumpulkan, harus luntur dan meleleh lagi. Tepat ketika aku mendobrak pintu dan menghambur masuk... ... ternyata Derry sedang ada di atas ranjang. Berpakaian lengkap. Bau. Dan memainkan gitarnya. “Sia udah pulang?” katanya. Otomatis, aku menoleh ke belakang... ... Derry berhanduk butut itu tidak ada. Bahkan mungkin, tidak pernah ada. Detik itu juga aku menelepon Sissy, yang berujung pada tujuh belas missed call. Derry, yang sudah kupastikan asli, marah-marah karena aku mengabaikannya. Entah mengapa muncul nama Faisal di tengah kepanikanku itu. Sehingga tanpa pikir panjang aku meneleponnya, mengajaknya ketemuan, beralasan macam-macam pada Derry, dan untuk pertama kalinya aku menangkis cengkraman tangan Derry. Aku kabur. Seadanya. Dengan uang di saku yang seadanya pula. Di Tamansari aku turun dari angkot, karena uangku nyaris habis. Di situ pulalah Faisal menjemputku. Aku bahkan belum tahu apa yang sedang kulakukan saat itu. Aku juga nggak tahu, memangnya mau apa aku minta ketemuan dengan Faisal. “Kamu panik,” kata Faisal kemudian, sambil menyuguhkan segelas air putih. “Minum dulu. Tarik napasnya.” “Terima kasih.” Kuteguk air hingga habis. Lalu aku merapikan lagi napasku. “Jadi gimana ciri-ciri hantu itu?” Dalam perjalanan menuju kosan Faisal, aku menumpahkan semua kejadian yang kualami berkaitan hantu bocah itu. Aku menceritakannya berulang-ulang. Bagaimana rasa takutku. Bagaimana aku kebingungan. Pun spekulasiku bahwa itu semua dimulai dari Pameran Tumaninah itu. Faisal mendengarkan dengan seksama. Dia jelas nggak memahami ceritaku. Aku maklum. Aku saja belum mengerti mengapa bisa terjadi. Namun dia tampak ingin mencoba memahamiku. Setiap kata-kataku diolahnya dengan serius. Hujan deras mendadak mengguyur di luar. Tepat ketika aku selesai menceritakan Derry yang berubah menjadi hantu anak kecil di cermin. Suara berisik hujan seperti gemerisik seng yang sedang dilipat-lipat. Atau kresek. Faisal terpaksa menutup jendela kosannya. Cipratan air mulai masuk. “Saya udah coba tulis ulang isi jurnal itu. Belum selesai, sih. Sejauh ini saya belum ngerti maksudnya apa. Nyeritain tentang seorang cowok. Namanya Dicky. Kayaknya nih orang suka ama yang namanya Agas. Lalu, entah ada problem apa gitu, dia harus pergi ke suatu tempat. Barusan saya nulis ulang pas di bagian Esel.” Alisku terangkat satu mendengar kata itu. Kok, mirip nama pacarnya Cazzo? Nggak di sini nggak di jurnal, kata Esel ada di mana-mana. Kenapa bukan Nico? Astaga. Bayangan kaki kurus dan dada papan cucian itu muncul lagi dalam benakku. Badan Ayysell, ya. Bukan badan Cazzo. Kalau cowok lain yang papan cuciannya adalah perut. Ayysell justru dadanya. Hentikan, Nico. Hentikan. Bisa dianggap kafir dari homoseksualitas kalau terus-menerus membayangkan Ayysell. “Mau baca?” tawar Faisal. Aku mengangguk menerima jurnal itu. “Padahal hujan. Kok panas, ya?” Faisal mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. Dia nggak bicara padaku. Dia justru berpaling. Dan, dia kepanasan. Kok, bisa kepanasan? Aku, sih kedinginan. Aku membuka catatan tulis ulang yang dibuat Faisal. Tulisannya bagus. Maksudku, tulisan Faisal. Sebentar. Aku baca dulu jurnalnya.

:: lelaki angkasa II

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, berusaha menemukan si bocah aneh. Faisal pun menjauh, menerima telepon. Dalam waktu dua menit, dia kembali untuk mengabarkan perpisahan. “Saya mesti pulang kayaknya. Ada temen yang masuk rumah sakit.” “Oh, oke.” “Saya bawa aja ini jurnalnya.” “Nggak apa-apa, gitu?” Faisal mengangkat bahu. “Nggak apa-apa, mungkin? Kecuali kamu bilang-bilang.” Kami berdua tertawa. Jujur saja, aku tidak peduli pada jurnal rahasia itu. Silakan saja kalau mau dibawa. Rasa penasaranku sudah hilang. Aku lebih tertarik pada lelaki yang bikin heboh tadi. “Nanti kalau saya udah kebaca semua tulisannya, saya kasih tahu kamu, lah,” kata Faisal sambil membereskan semua peralatan kameranya. “Nanti saya SMS.” “Ah, santai aja. Cepet sembuh buat temennya, ya!” Bertepatan dengan Faisal pergi, Sissy akhirnya muncul. “Kamu denger ribut-ribut tadi, Niko? Oh, oh, aku lagi di WC, coba! Aku nggak ngelihat! Katanya ada cucunya, ya? Katanya marah-marah, ya? Aku denger dari orang yang lagi ngantri di WC!” “Kamu lama amat sih di WC-nya.” “Sebab di WC-nya pun ada sejarah kuntilanaknya. Jadi aku baca-baca dulu. Sekarang ke mana si cucunya?” Aku menunjuk bagian dalam rumah dengan dagu. Tanpa banyak bicara, Sissy menarikku ke dalam. Di depan kamar tidur si nenek dukun, banyak orang berkumpul untuk menguping. Sayup-sayup, dapat terdengar pembicaraan penuh emosi antara lelaki itu bersama penyelenggara pameran. Sissy tampak antusias, tentunya. Bahkan, Sissy berusaha menerobos menuju kerumunan paling depan. “Aku tunggu di depan aja, deh,” kataku. “Jangan pulang duluan, ya!” Nggak mungkin aku pulang duluan, Sis. Aku justru lagi nggak mau pulang. Ruang tamu yang tadi ramai, kini kosong melompong. Semua orang ada di ruang tengah. Berbisik-bisik. Mengada-ada. Berhipotesa. Tidak ada yang tertarik pada brosur. Tidak ada yang tertarik pada Manusia Genderuwo lagi. Aku tak akan berbohong bahwa aku juga kepikiran lelaki berjas pilot tadi. Tidak dalam artian hasrat, seperti saat aku melihat Lelaki Berefek Toko Roti. Hanya kagum dengan energinya. Hanya kagum dengan kehadirannya. Dengan emblem-emblem sayap di sana-sini, aku mengasosiasikannya sebagai penakluk angkasa. Dia dapat terbang ke mana saja. Dia dapat melakukan apa saja. Kalau kamu tanya apa aku ingin mengenalnya lebih jauh? Aku ingin. “Tuh, kan! Kayaknya dia cucunya!” Mendadak Sissy muncul di antara kerumunan. “Dia pengin nge-close down pameran ini.” Bagus dong. Namun aku tidak mengatakan itu di depan Sissy. “Apa katanya?” tanyaku. Sissy menggeleng. “Aku nggak denger jelas, sih. Sebab cuma bisik-bisik aja kedengarannya. Eh, orangnya kayak gimana emangnya?” “Apanya?” “Mukanya. Apa ganteng? Apa seksi?” Aku memutar otak. “Dua-duanya boleh. Laki banget,lah.” “Owwwhhh...” Sissy sampai menggigit jari. Berlagak genit. “Bisa dong?” “Udah punya istri.” “Oh.” Jarinya nggak jadi digigit. “Sissy, kamu nemu anak kecil yang tadi nggak di kerumunan sana?” tanyaku. Aku masih penasaran sampai sekarang. Mengapa tidak ada jejaknya? Maksudku, semua orang jelas sedang berkumpul di ruang tengah. Berusaha mencuri dengar. Seharusnya bocah itu ada di sekitar sini juga. Seharusnya dia sama penasarannya, seperti Sissy. “Anak kecil apa, Nikooo...?” “Yang tadi bareng aku seharian.” Sissy mengerutkan alis. “Kamu ngomong apa, sih? Coba, mending kamu cerita, si cucu secara spesifik kayak gimana? Kulitnya putih? Tinggi?” “Anak kecil yang aku tuntun, Siiis... Kamu kan udah ketemu.” “Yang di mana?” Sissy memutar otak. Dan, dia tampak serius. “Kamu sendirian dari tadi, kan?” Sendirian? “Jadi... umur si cucu kira-kira berapa tahun? Masih muda? Tiga puluhan ada?” Orang yang Sissy tanyakan justru muncul setelah pertanyaan diajukan. Kerumunan di ruang tengah bergerak heboh. Seseorang berjalan cepat keluar dari antaranya. Terburu-buru. Bisu. Namun sanggup membuat semua orang gelisah. Dalam ketergesaannya, lelaki itu justru berhenti di ruang tamu. Ya. Lelaki itu berhenti. Tepat di hadapan aku dan Sissy. Selama lima detik lamanya, lelaki itu menatap ke arahku. Mata lelaki itu memandang tepat ke mataku. Aku sempat tersihir. Karena aku berubah beku. Mata lelaki itu jernih. Cemerlang seperti mata air. Aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat... ... ... tunggu sebentar. Di mana aku sempat melihat mata itu... ... ... tunggu. Aku yakin pernah melihatnya... ... ... Namun lelaki itu keburu pergi. Dia memang hanya bertahan lima detik. Secara harfiah. Sosoknya langsung berlalu ke luar. Tampak tergesa. Diikuti istri sosialitanya yang kebingungan. Aku dapat mencium aroma maskulin menguar ketika lelaki itu lewat. Rasanya seperti melindungi. Rasanya seperti aku bisa direngkuh olehnya dan selalu merasa aman. “Yang itu?!” bisik Sissy terkejut. Mulut Sissy terbuka lebar. Bisa dimasukkan semua kelamin satu tim sepak bola saking lebarnya. “Kamu nggak bilang kalo dia ganteng!” ... Di mana ya aku pernah melihat mata itu... “Ayo kita ke luar! Kita buntutin!” Sissy menarikku bangkit. Melewati pintu depan bersama rombongan pengunjung yang penasaran. Namun otakku masih berkutat di mata jernih lelaki itu. Lelaki angkasa bermata cemerlang. Ketika aku menatap lelaki itu menghilang ke dalam sedan mewah hitam di depan rumah, pandanganku jatuh pada pohon belimbing di halaman depan. Dan, aku teringat sesuatu. Aku ingat siapa yang punya mata persis seperti itu. Si bocah misterius. -XxX- Sebenarnya, kalau mau dibandingkan, ada yang sanggup menyimpan rahasia lebih lama dariku. Ialah Tuhan. Rahasianya kekal sampai selamanya. Enam miliar manusia tidak ada yang tahu satu pun rahasia yang Ia simpan. Salah satu yang paling jelas adalah rahasia “Mengapa Mudah Sekali Bertemu Lelaki Berefek Toko Roti”. Ya, benar. Masih di hari yang sama aku terbebas dari Derry, aku bertemu Cazzo. Masih di hari yang sama aku dibuat penasaran oleh lelaki angkasa bermata cemerlang, aku bertemu Cazzo. Persis kebetulan-kebetulan berlebihan yang pernah kubaca di novel, aku bertemu Cazzo. Lokasinya di Kambing Soon. Di halaman depan Puri Tomat, Dago. Sepulang dari Pameran Tumaninah, Sissy mengajakku ke sini. Makan kambing. Katanya, Sissy mau “ewita” malam ini. Bersama Ali. Jadi, tenaganya harus jos. Kami menghabiskan sepetangan menyantap kambing bakar sambil membahas betapa gagahnya Lelaki Angkasa Bermata Cemerlang tadi. Tentu saja, Sissy lebih tahu semua sejarah tentang keluarga nenek dukun itu. Jadi, dia yang bicara lebih banyak. Aku hanya mendengarkan. Sekitar pukul tujuh malam, Sissy dijemput Ali. Motornya keren. Tipe-tipe yang mengharuskan pengemudinya membungkuk. Namun karena helm-nya tidak dilepas, aku tidak bisa melihat wajahnya. Ali terburu-buru. Jadi, Sissy hanya menitipkan uang saja padaku, membiarkan aku membayar tagihan kami. Aku, tentu saja, tidak ada rencana lain selain pulang dan bertemu Derry lagi. Membayangkan malam penuh nafsu. Dengan kasur tipis bau maksiat. Dan meja penuh puntung dan sampah. Aku pernah memaksa untuk menginap semalam saja di rumahku sendiri. Namun Derry mengancamku. Dia akan menghancurkan warung lotek Ibuku. Paling lucu adalah ketika dia mengancam akan mengirimkan kuntilanak bernama Aminah untuk menghantuiku. Saat lucu itulah yang akhirnya meluluhkanku. Maksudku, sweet banget nggak, sih, ada cowok yang setengah mati ingin aku menginap terus di kosan rahasianya, sampai-sampai menggunakan Aminah The Kunti sebagai ultimatum. Tentu saja aku tidak percaya dia punya kuntilanak bernama Aminah. Ada-ada saja. Nah, ketika dihantam kenyataan itu, aku memutuskan untuk duduk lebih lama di Kambing Soon. Mungkin sepuluh atau dua puluh menit. Mungkin jalan-jalan dulu ke BIP, melihat-lihat. Mungkin pergi ke bioskop, nonton yang midnight. Pokoknya selama mungkin berpisah dari Derry. Sampai akhirnya... ... Cazzo muncul di pintu depan. Dia mengenakan celana jins dan kemeja kasual warna biru. Tubuhnya pun dibalut jaket kulit tebal. Ketika dia datang, tangan kirinya menenteng helm full-face yang berkilau. Dia tampak kelelahan. Tampak sedang frustrasi, malah. Langkahnya menuju konter pemesanan, sebenarnya, sampai akhirnya dia menemukanku sedang duduk beberapa meja dari posisinya. “Adek?” sapanya. Dan, lagi-lagi jantungku meleleh. Entah mengapa kalau Cazzo memanggilku seperti itu, selangkanganku jadi hampa. Bahkan, aku merinding karena kegirangan. Kenapa nggak panggil Niko aja, sih? Memanggil nama bakalan lebih ramah lingkungan terhadap kondisi feromonku. “Heeey... Kakak!” Dan, tepat saat itu juga, aku teringat Derry. Ini adalah rahasia Tuhan lainnya yang aku pertanyakan. Satu detik lalu aku dipertemukan dengan Cazzo secara misterius. Satu detik berikutnya aku teringat Derry. Aku teringat ancamannya untuk tidak mendekati Cazzo maupun Ayysell. Ayysell sih aku bisa tangani. Maksudku, enam milyar orang di dunia pasti sanggup untuk tidak dekat-dekat Ayysell. Kalau Cazzo kan lain kasus. “Adek ke mana sih kemaren? Kok langsung pergi gitu aja?” katanya. “Gimana kucingnya? Sehat?” “Kucing?” “Esel bilang kucing lo masuk ke sumur, dan dia cuma mau naik kalau ada lo di situ. Emang sampe segitunya, ya?” “Oh...” Kucing. “Iya. Kucing aku emang suka begitu.” Dugong bernama Ayysell itu seriusan ingin menjauhkan aku dari Cazzo. Sama seriusnya dengan Derry. “Kakak sendirian?” tanyaku. Memastikan memang tidak ada dugong membuntutinya dari belakang. Nanti dikiranya aku janjian, lagi. Nanti dikiranya aku sedang berusaha merebutnya. Aku sih nggak akan nolak buat merebut Cazzo dari tangannya. Tapi kalau merebut saja belum aku sudah dituduh begitu, jadi kesel juga, kan? Cazzo mengangguk dengan muka sedih. “Harusnya sih sama Esel.” Dia lalu duduk dengan lesu di mejaku. Selama sepuluh detik pertama bibirnya manyun, bikin gemes. Dan jemarinya memainkan kunci motor. “Tapi Esel nggak bisa. Dia ada acara ama temen-temennya. Dugem di SE, katanya.” Cazzo menunduk. Astaga, kurang ajar juga banci itu. Nggak bersyukur, hah, dia udah dikasih malaikat kayak begini? Aku sih kalau ada di posisinya, rela ninggalin dugem di mana pun demi Cazzo. (Emang pada dasarnya aku nggak suka dugem juga. Tapi bukan itu poinnya.) Bisa kupastikan dia memenangkan Grammy Award, Banci Paling Tidak Bersyukur. Ya Tuhan, padahal aku baru bertemu orangnya dua kali. Kenapa bisa semengesalkan ini, sih? “Emang kalian mau ke mana awalnya?” “Vila,” jawab Cazzo. “Bokap punya vila di dago. Biasanya kalo gue ke Bandung, gue ma Esel nginep di sana semalem. Honeymoon lah ceritanya. Rencananya malam ini mau nginep. Gue nggak tahu kalau Esel udah ada jadwal dugem malam ini. Dia sampe marah-marah, coba. Padahal kalau mau di-cancel juga nggak apa-apa, sih.” “Kalian... marahan?” Cazzo mengangguk. Oh, oke. Cukup sulap saja yang membuatku terheran-heran karena tampak mustahil. Bertengkarnya Cazzo dengan AyySell, apalagi Ayysell yang marah dan Cazzo yang sedih, jauh lebih mustahil dari sulap apa pun. Antara Cazzo berada di bawah guna-guna. Atau aku sedang bermimpi buruk sekarang. “Jadi, sekarang... batal ke vila, dong?” tanyaku. Cazzo mengangkat bahu. “Lo mau ikut, Dek?” “Apa?” “Gantiin Esel?” Mata Cazzo mengintip wajahku. Dia kelihatan malu-malu menanyakan itu padaku. Membuatku juga jadi malu-malu. “Maksud gue, bukan jadi pacar gue gantiin Esel. Hehe... Sorry, sorry, bukan maksud gue bikin lo canggung. Ma-maksud gue...” Cazzo nyengir, masih malu-malu. “Temenin gue, gitu?” Kali ini, jantungku copot sampai ke atas lantai. Aku... Dapat... Ajakan... Menginap... Di Vila? Bersama Cazzo? Ini jelas-jelas rahasia Tuhan berikutnya yang tak akan pernah bisa dipecahkan semua orang. Dalam otakku langsung terbayang adegan-adegan vila mewah di Dago. Ada aku dan Cazzo di sana. Berduaan. Mungkin honeymoon. Mungkin mustahil honeymoon. Namun, kami benar-benar berdua di sana. “Mau nggak?” tanya Cazzo lagi. “Biasanya gue ma Esel ada tradisi beli nasi goreng kambing di sini, terus dibawa ke vila. Kalau mau, gue sekalian beli nasi gorengnya dua. Gimana?” Aku, seriusan, membeku. Aku tidak bisa menjawab. Satu-satunya gerakan yang berhasil kubuat adalah jemariku bergetar. Namun akhirnya, aku bisa menguasai diri. “Oke. Aku juga lagi nggak ada acara, kok.” Aku teringat Derry. Aku teringat tiga malam terakhir. Aku teringat kasur tipis, Derry yang ngorok, dan badannya yang bau. Dibandingkan dengan... tadaaa! Vila! Cazzo! Dan... Cazzo! Pokoknya Cazzo! Lelaki tampan yang kutemui di gerbong 3, kursi 8A, Argo Parahyangan Tambahan! “Bagus!” Cazzo berubah ceria. “Gue pesen dulu nasgornya.” Aku sebenarnya ingin mengatakan kalau aku sudah makan nasi goreng tadi. Namun aku tidak mau merusak suasana. Jadi kubiarkan saja dia pergi ke konter, memesan yang ingin dia pesan. Lagi pula, aku sedang bergetar keriangan di kursiku sini. Aku meng-sms Ayah dan Ibu, menyatakan kalau aku tidak akan pulang lagi—bedanya kali ini aku senang sekali. Aku juga meng-sms Derry kalau aku menginap di Sissy. Dan tentu saja, aku meng-sms Sissy supaya mau diajak bekerja sama. Derry tentu saja membalas sms-ku dengan segera. Balik, jing! Sia di mana? Aku balas: Nggak bisa. Malem ini aja, yaaaaaa... pliiissss... Di mana!!! Aing susul!!! Jangan ih! Malem ini aja, kok! Yah yah yah?! Terus, aing sendiri aja, gituh!!?? Ya kan sebelum2nya juga sndiri. Plis, yaaaa... aku pgn nginep ama Sissy. Udah lama nih. Besok pagi2 aing jemput!!? Di mana rumah si susi!!?? Sissy, bukan Susi. Ga usah dijemput. Aku naik angkot aja. Krn pasti bangun siang. Oke yaaa... Di mana rumah Susi!!? Aku ga akan ngasih tahu! Mau kita putus atau aku dibolehin nginep? Goblog, siah! Ketika Derry membalas yang terakhir itu, nasi goreng Cazzo sudah selesai. Seorang pelayan mengantarkannya ke meja kami, dan aku membuntuti lelaki itu menuju motornya. Motor yang sama kerennya dengan motor Ali. Yang mengharuskan penumpang di belakang membungkuk juga, telungkup di atas punggung si pengemudi. Kamu tahu kan, yang seperti itu? Sepanjang perjalanan menuju vila, aku duduk dengan dada berdebar. Dalam hati, kupanjatkan doa-doa dan mantra-mantra. Jangan sampai Derry datang. Jangan sampai Ayysell datang. Jangan sampai siapa pun datang. Aku mematikan ponsel, menganggapnya low battery saja. Tidak ada bedanya, kan? Kuhirup wangi Cazzo yang menguar karena terbawa angin. Sambil duduk di belakang, sambil aku membetulkan celana berkali-kali. Maksudku, sulit juga mengenakan celana jins dengan alat kelamin yang mengeras dan berdenyut-denyut. Hey, aku kan nggak bisa mengontrol itu. Sesampainya di vila itu, aku terpukau. Ini vila mewah. Sempurna. Seperti yang aku bayangkan. Bahkan, untuk membuatnya semakin sempurna, hanya ada kami berdua di sini. “Biasanya ada Mang Toto, jagain vila. Tapi gue udah bilang kalo gue mau ke sini. Jadi dia udah hengkang dari siang tadi,” kata Cazzo. “So... sorry, ya. Kalau cuma kita berdua di sini.” Sorry? Ya ampun. Itulah yang kuharapkan sedari tadi! Memang seperti itu adanya. Hanya kami berdua di sini. Aku menemani Cazzo menyalakan semua lampu temaram mewah di vila ini. Aku membantunya menyiapkan nasgor, merapikan sofa, dan memilih CD untuk kami tonton. Semua tampak sempurna. Sungguh. Kamu harus ada di sini untuk merasakannya. Aku bertaruh semua uangku di tabungan, kamu akan setuju denganku. Hanya saja, ketika aku berjalan-jalan ke balkon depan, menatap jalanan dan vila-vila di sebelah... aku menemukan sebuah sosok di dekat pohon. Tidak jauh dari vila ini. Awalnya kukira itu satpam yang sedang pipis atau apa, gitu. Namun ketika sosok itu mendekat... ... Jantungku copot lagi. ... Kali ini untuk alasan yang menyeramkan. ... Karena sosok di bawah bayang-bayang gelap itu adalah... ... Bocah misterius di pameran tadi. Bocah yang memiliki mata mirip lelaki pilot itu. -XxX- Mari kugambarkan penampang umum vila romantis ini. Pintu masuknya dimulai dari tangga batu granit yang ditata rata dan rapi. Ada teras beralaskan kayu berpelitur sebelum masuk ke ruang utama, dipenuhi bebatuan kali dan tempat menyimpan sandal yang cantik. Lalu, pintu masuknya berupa pintu koboi yang didesain menggunakan kayu jati. Ada kolam renang kecil, lengkap dengan balkon tempat berjemur di bawah atap kaca. Lalu dapur dan meja makan berada di garda depan. Diikuti ruang tengah tempat TV menggantung dengan megahnya. Ada sofa putih yang empuk di sana. Lengkap dengan bantal-bantal selembut boneka Teletubbies. Sekalinya kita rebahan di atas sofa, kita mungkin tak mau turun lagi. Padahal, kamar utama tak kalah menariknya. Berada tepat di pinggir kolam renang mungil itu. Dengan balkon kecil yang nyaman. Hanya perlu membuka jendela, menyibak tirai, kita bisa lihat pasangan kita sedang berenang, sementara kita tidur-tiduran di atas ranjang. Vila ini mungil, sebenarnya. Namun kemewahan dan romansanya tampak sangat membahana. Aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di atas karpet berbulu yang empuk. Pura-pura berjalan seperti model. Ingin sekali tampak seperti sosialita. Cazzo, di lain sisi, menganggap ini rumahnya sendiri. Yah, secara teknis, ini memang miliknya. Cazzo membuka kulkas dan meletakkan piring-piring seenaknya, bahkan menggigit roti sambil membetulkan dispenser. Tampak santai sekali. Dan imut. Aku tak akan menceritakan cengkrama kami selama tiga jam pertama. Menonton serial How I Met Your Mother dari CD, membahas beragam hal soal Bandung, hingga menghabiskan keripik pisang yang Cazzo temukan di salah satu credenza. Semuanya mengalir mulus. Aku menikmati setiap detiknya, tak perlu repot-repot merekamnya, karena itu terjadi begitu saja. Bahkan, aku melupakan adegan misterius yang terjadi di balkon depan tadi. Bocah itu hanya muncul beberapa detik, sih. Namun aku sempat melihat wajahnya. Dan matanya yang cemerlang. Hanya selibat saja. Setelah itu hilang. Setelah itu Cazzo menarikku masuk, dan aku lupa kejadian itu. Cazzo tampak mengagumkan dalam situasi seperti ini. Aku selalu memperhatikan bagaimana cara dia bicara (bibir tipisnya kadang berkedut-kedut kalau bahasannya dia sukai), lalu antusiasme matanya (melotot lebar saat membahas MotoGP), hingga betapa mulus kulitnya... seperti kulit roti. Berkilau kecokelatan. Mungkin tinggal dibaluri mentega dan kita gigit saat masih hangat. Tidak ada dugong berkalung manik-manik. Tidak ada preman tukang nungging dan meludah. Hanya kami berdua. Aku dan Cazzo. ... Sebagai teman baru, tentunya. Aku akan berpikir realistis untuk tidak berharap lebih. Aku masih waras, kok. Sekonyol apa pun Tuhan menuliskan kebetulan-kebetulan, aku percaya aku bukan jodohnya Cazzo. Aku tidak akan sanggup menyamai kekayaan Ayysell. Mengenakan baju nyentrik yang bikin radius 1 km menoleh saking mengganggunya. Atau belanja di PVJ tanpa perlu memikirkan harga bajunya berapa. Untuk naik angkot saja aku menghitung cara termurah. Misal aku bisa membayar lebih sedikit tapi angkotnya mutar-mutar (plus aku harus jalan sedikit ke tempat tujuan), aku akan mengambil angkot itu. Dan aku tak mungkin membawa Cazzo ke gang rumahku. Menemukan bahwa di teras depan rumahku, tidak ada bebatuan kali plus tempat menyimpan sandal yang cantik... tetapi warung lotek yang sering ditongkrongi ibu-ibu sambil membahas Tukang Bubur Naik Haji. Bisa jadi Cazzo ilfeel duluan. Bisa jadi dia fobia pada gang sempit dan tukang lotek, persis fobianya pada kegelapan. “Udah jam dua belas. Nggak akan tidur?” tanya Cazzo. Obrolan terakhir kami adalah tentang Mochilok. Bahasannya sudah melantur ke sana kemari, lalu Cazzo melirik jam dinding, dan kami tak menyangka jarum pendeknya sudah ada di angka terbesar. “Oh, ayo. Tidur.” Ada tiga kamar tidur di sini. Dua kamar di lantai atas, satu kamar di lantai bawah, dekat kolam renang. Aku membayangkan Cazzo akan mengambil kamar utama di bawah. Lalu aku, sebagai tamu yang numpang, akan tidur di kamar kosong di atas. Kamar yang sama cantiknya, persis hotel bintang lima. Hanya demi kesopanan saja. Maksudku, nggak mungkin juga kan aku sekamar dengan Cazzo? Nggak sopan, nantinya. Lagi pula Cazzo sudah ada yang punya. (Yah, secara teknis, aku juga.) Namun ketika aku meregangkan badan, menguap, berjalan menuju tangga... Cazzo meneriakiku. “Dek, ke mana?” Alisnya mengerut. Dia tampak marah. “Ke... atas?” kataku. Yang terdengar seperti bertanya. “Ngapain?” “Ngng... tidur? Kan kamarnya ada di—“ “Tidur di bawah aja, kali. Ama gue di sini. Adek pikir gue ngajak nginep supaya tidurnya misah, hah?” Iya, jawabku dalam hati. Cazzo menghampiriku. Menarik tanganku. Bukan, dia membetotku. Seolah ketakutan berada jauh dariku. Auranya persis seperti waktu kami melewati terowongan Sasaksaat tempo hari. Ya ampun. Aku dibawa ke kamar utama. “Udah, lah... tidur ama gue aja, Dek!” Cazzo tampak kesal. “Jangan jauh-jauh. Apalagi pisah lantai. Di sini tuh sepi, tau!” “Iya... iya...” “Gimana kalau mati lampu, coba?” Kamar utama itu aromanya hangat. Seperti kamar raja. Kilau kolam renang, dengan lampu neon yang dipasang di dalam, tepercik ke kamar... menciptakan siluet-siluet cantik layaknya batu koral. Ada pengatur suhu yang didesain menghangatkan ruangan, selain mendinginkan. Kalau saja ini honeymoon, ini bakal jadi bulan madu paling sempurna untuk siapa pun. Oh, Tuhan. Aku kan nggak bawa baju ganti. Apa aku pinjam baju Cazzo saja gitu? Barangkali dia bawa lebih. Pake yang sedang dia pake sekarang pun nggak apa-apa. Kebesaran pun nggak masalah. (Sejauh itu punya dia, dan wanginya wangi dia.) (Hahaha.) “Aku nggak bawa baju ganti, Kak,” kataku. “Gue juga.” Cazzo menoleh sambil nyengir. “Besok pake baju ini lagi aja.” “Iya, besok pake baju ini lagi. Maksud aku—“ Oh, my... Oh, no... Cazzo membuka bajunya! Dan celananya! Dia telanjang! Nggak bulat sih. Ada celana dalam segi empat ketat yang dia kenakan. Yang tentu nggak akan dia lepaskan. Tapi maksudku bukan itu! Maksudku... dia melakukannya di depanku! Ketika aku ada di ruangan! “Maksud Adek, kenapa?” tanya Cazzo. Berbalik menghadapku. Oh... no... Sekarang aku bisa melihat tubuhnya yang sempurna. Perut rata, lekukan dada, lekukan tubuh yang dipahat tak bercacat... dipadu dengan wajah setampan itu. Dan kaki-kaki yang tampak kokoh... Aku tak kuat melihat keindahannya... Aku langsung menoleh, pura-pura melihat ke arah lain. Padahal jantungku berdebar seperti gujes-gujes kereta api. Padahal kelaminku tegang... serasa mau meledak. Dan Cazzo melompat ke atas tempat tidur. Dia mengacak selimut. Menyusupkan kaki ke dalamnya. Menepuk-nepuk bantal. Lalu bersandar dengan santai. Senyumnya lebar. Menungguku melompat juga. “Ayo, Dek! Mau bobo nggak?” “Oh...” Aku tampak seperti idiot. Berdiri di dekat pintu dengan badan gemetaran. Bingung antara kegirangan atau sedang orgasme. Lihat itu di atas ranjang. Ada lelaki tampan di sana. Hanya dibalut celana dalam saja. Semua kulitnya yang mulus terpapar di sana. Membayangkan kemungkinan kulitku bersentuhan dengan kulitnya tampak sangat gila. Oh... mungkin inilah alasan Tuhan mengapa Ayysell lebih tepat dijodohkan dengan Cazzo dibandingkan denganku. Karena aku tak akan sanggup menghadapi semalam menginap dengan Cazzo dalam status teman dan teman. Ya ampun, Niko. Kamu payah sekali! “Adek lagi nungguin apa?” “Aku... aku lagi... lagi nyari hape.” Dengan salah tingkah aku keluar untuk mencari ponsel. Cazzo berteriak dari dalam. “Sip! Pokoknya lampu jangan dimatiin, ya. Perjanjian kita tadi begitu. Gue bobo duluan, Dek.” Ya ampun, aku harus bagaimana? Rasanya mendebarkan sekali. Rasanya seperti pertama kali melihat lelaki dewasa telanjang, lalu menatap kelaminnya yang mempesona. Di sumur yang sama, tempat Neng Surti biasa mandi, aku pernah mengintip Kang Somad, tukang bakso sekitar, mandi di sana. Kang Somad-nya sih ganteng. Badannya agak berisi, tapi oke lah. Dan meski umurku baru sembilan tahun, aku sempat mengintip seluruh proses Kang Somad mandi. Dan jantungku berdebar. Berdebar senang. Berdebar girang. Seperti itulah yang kurasakan sekarang. Begitu aku menemukan ponselku, aku kembali ke kamar utama sambil berjalan perlahan-lahan. Aku pura-pura sibuk menyalakan ponsel, belum berani melihat apa yang sedang dilakukan Cazzo di atas ranjang. Ya ampun, Niko. Tentu saja Cazzo sedang tidur. Dan imut sekali tampaknya. Cazzo sudah memejamkan mata, terlelap dan beristirahat. Kedua tangannya disimpan di balik kepala, membuatku dapat melihat rambut halus di ketiaknya atau lengannya yang kokoh. Wangi badannya yang khas menguar hangat ketika aku menghampiri tempat tidur. Sungguh... Aku tidak sanggup seranjang dengan malaikat seperti ini. Trrrt... Trrrt... Trrrt... Ponselku bergetar berkali-kali, menandakan banyak sms masuk. Namun aku belum fokus ke sana. Aku sedang berusaha mengontrol diriku. Meski ada harta karun di atas ranjang sana, bukan berarti aku kurang ajar semalaman. Aku membuat janji pada diriku sendiri, untuk tidak memainkan kelamin Cazzo. (Seperti yang pernah kulakukan, waktu aku menginap bersama salah satu sepupuku yang ganteng.) Aku juga berjanji untuk tidak membelai-belai kulitnya yang mulus. (Apalagi menyentuh perut ratanya itu, meski aku ingin sekali.) Aku tidak akan mencium bibir Cazzo saat dia terlelap. Aku tidak akan mengecup seluruh bagian tubuhnya, seperti yang nyaris kurencanakan lima detik lalu. Dan aku tak akan memeluknya. Kamu harus tahu diri, Niko. Ini soal menjaga hubungan baik. Semua ini hanya teman dan teman. Aku melucutkan semua pakaianku. Otomatis aku minder, karena tubuhku seperti monster. Nggak ada indah-indahnya. Celana dalamku juga murahan. Belinya di pasar Sederhana, sepuluh ribu dapat tiga. Warnanya kuning pula. Apa aku tetap memakai celana jins-ku saja? Ah, tidak. Konyol sekali tidur mengenakan celana jins di atas kasur mahal dan kamar mewah ini. Aku bakal tampak lebih kampungan kalau seperti itu. Aku akhirnya menyusup masuk ke balik selimut. Agak buru-buru supaya Cazzo tidak melihatku mengenakan celana dalam kuning murahan. Meski sebenarnya Cazzo sedang tidur, sih. Dia jelas tidak bisa melihatku. Ketika aku naik, ranjang agak bergoyang... membuat Cazzo bergerak dalam tidurnya, memutar badan, hingga akhirnya memunggungiku. Oh, Tuhan... terima kasih! Cazzo memunggungiku sangat-sangat lebih baik dibandingkan dia tidur dengan pose sensual seperti tadi. Setidaknya aku bisa tenang. Aku menghembuskan napas lega. Mulai menyamankan diriku dengan bantal-bantal putih itu. Meraih ponsel dan bisa fokus ke sesuatu yang nggak perlu mengganggu situasi syahwatku. Ada puluhan sms yang masuk. Satu dari Ibu, memarahiku karena menginap lagi. Satu dari Faisal... Oh, aku tidak menyangka dia bakal benar-benar meng-sms-ku. Lalu... tidak ada balasan dari Sissy. Mungkin dia sedang nungging di depan Ali. Dan... ada 27 sms dari Derry. Bales, jing! Sia di mana!!?? Isinya kira-kira seperti itu. Diulangi terus dengan cara yang sama. Aku disebut anjing, lah. Aku disebut goblog, lah. Derry tidak bisa meneleponku karena dia sayang pulsanya. Sms-sms itu pun berasal dari gratisan sms providernya. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat caranya memperlakukanku. Setelah dengan terpaksa aku menjadi pacarnya, dia tetap menganggapku korban premanismenya? Maksudku, tidak bisakah aku naik satu level dibandingkan korban-korban yang lain? Hape lowbat. Baru dicas. Kmu tuh knp, sih? Aku capek kalo gini trus. Bunuh aku aja deh. Mendingan aku mati drpd pacaran tp kyak gitu. Tak perlu menunggu berlarut-larut. Dalam sekejap mata, Derry sudah membalas. Sbg pacar aing, sia mestinya nurut!! Kamu bahkan ga sayang aku, Deri. Knp sih msh maksain terus? Aing syg sia, ANJING!!! Buat apa aing begadang nungguin sia balik!!?? Sayang aku atau sayang anjing? Ada jeda cukup lama dari balasanku barusan. Entah Derry sedang termenung dengan kata-kataku, entah dia mabok-mabokan dulu, supaya timeline hari ini tetap efisien diisi bir oplosan. Aku mulai beralih ke sms Faisal. Yang tampaknya lebih beradab dan ramah penglihatan. Hei, ini sy yg tadi. Faisal. Ganggu ga nih? Sori bru bales. Hehe. Tadi lowbat. Gapapa, kok. Ada apa? Walah, blm tidur? Ah, bukan apa2. Ini nih, sy td udh brhsl baca jurnal yg kita temuin td. At least judulnya udh ketahuan, lah. Oh. Ternyata itu. Faisal ini lama-lama jadi kayak Sissy, ya. Terobsesi pada keluarga nenek dukun di Hegarmanah itu. Untung dia lumayan cakep buat diingat-ingat. Jadi aku tetap melayaninya. Oya? Judulnya apa? Aku menunggu sekitar lima menit. Karena tidak ada balasan apa pun di ponselku. Sempat aku menoleh ke arah Cazzo, menatap punggungnya yang kokoh. Selimutnya agak tersingkap ke bawah, memperlihatkan lekukan pinggangnya. Sesungguhnya, aku menghabiskan lima menit tersebut penuh kebimbangan... antara menaikkan selimut itu agar menutup tubuh Cazzo... atau justru menariknya turun agar pantatnya—Oh, ada balasan sms. Dari Derry. Niko... oke. Aing minta maap. Apa? Seorang Derry minta maaf? Aku melongo selama sekitar sepuluh menit, tak percaya dengan sms yang kuterima. Apa mungkin ini rahasia Tuhan berikutnya? Niko... oke. Gw minta maap. Derry meralat sms-nya. Kali ini dengan perubahan yang signifikan. Gw cm pengen lo ada di sini, Niko. Gw akuin gw rapuh. Ga sekuat yg lo bayangin. Gw butuh se2org yg mw ada d smpg gw. Buat gw lampiasin emosi gw. Iyah, gw yg salah lampiasin ke elo. Tapi plis, pulang. Gw butuh lo. Lalu kemudian, Faisal membalas juga. Nggak begitu penting, sih. Aku nggak tertarik. Judul jurnalnya Friday Night. Kyaknya ini diary cowok yg namanya Dicky. Sy bru brhsl catat ulang smpe hlmn 4. Ntar klo udh bres, sy tunjukin sama kmu. Sip? Nggak sip, batinku. Aku nggak butuh jurnal itu. Ada yang lebih penting. Ada yang lebih krusial dan signifikan. Ini tentang Derry. Seserius apa dia mengatakannya barusan. Aku sengaja tidak membalas sms Faisal, karena itu bukan konsentrasi utamaku. Aku bimbang bagaimana membalas sms Derry. Entah mengapa ada satu bagian diriku yang luluh dengan kata-kata Derry. Seperti yang kupercayai tempo malam, aku tahu Derry punya sisi lembut. Aku tahu Derry punya perasaan. Dia hanya tak mampu mengontrol semua itu dan memilih meledak-ledak di depan semua orang. Aku tahu... ada rahasia yang akhirnya tidak bisa Derry simpan lama-lama. Ada jeda sekitar dua menit. Aku nyaris membalas sms Faisal, sambil mereka-reka sms untuk Derry. Namun ponselku keburu bergetar lagi. Derry meng-sms lagi. Kata-kata yang entah kenapa terasa dalam di batinku. Sesuatu yang tak kupercaya bisa keluar dari ketika jari Derry. Gue kangen lo, Niko. Plis... pulang. Dan, di saat yang sama, Cazzo bergerak dalam tidurnya. Dia memutar balik. Kali ini... tepat menghadapku. Tepat berjarak lima senti dariku. Lalu tangannya... melayang ke atas. Memelukku. Menarikku ke dalam rangkulannya, seolah memeluk guling yang empuk. Aku bisa merasakan kakinya menindih pahaku. Yang paling membuatku deg-degan adalah... ... hidung Cazzo kini berada tepat di telingaku. Menghembuskan napas hangat ke leher dan rahangku. Dan yang paling membuatku gugup adalah... ... jarak bibirku dan bibirnya tidak lebih dari lima jari. Aku hanya perlu menoleh untuk akhirnya bisa... mengecup bibirnya. Perlukah kukecup bibirnya?

:: lelaki angkasa

Selama apa kamu bisa menyimpan rahasiamu? Ibuku bukan tipe yang menjaga rahasia lebih lama dari delapan jam. Kecuali, itu rahasianya sendiri. Setiap makan malam, aku bisa disuguhi banyak hidangan. Mulai dari sayur lodeh, lalu mengapa Pak RT cerai bulan kemarin, lalu ikan asin, lalu dari mana Ceu Koko mendapat barang dagangannya, lalu tumis tempe, hingga hidangan tentang anak Bu Soleh yang kena kudis. Aku bisa mendapat World Wide Today hanya dari ibuku semata. Kecuali rahasia dirinya sendiri soal ribut dengan Ayah, atau kol lotek yang ada belatungnya, atau Teh Botol yang Ibu isi ulang sendiri. Ayah bisa menyimpan rahasia lebih lama. Mungkin dua bulan. Atau tiga bulan. Atau mungkin selamanya. Mengingat rahasia yang Ayah simpan biasanya tidak begitu penting. Tentang mengintip Neng Surti mandi, tentang mengintip Neng Surti pipis, dan tentang mengintip Neng Surti cuci baju di dekat sumur. Aku bisa menyimpan lebih lama dari mereka. Tentang uang SPP yang kulebihkan beberapa ratus ribu, kusimpan tiga tahun terakhir. Mungkin tidak akan terkuak sampai selamanya. Tentang Riki yang menghamili Dini, kusimpan selama lima tahun terakhir. Kejadiannya saat SMP. Paling lama adalah tentang aku yang gay. Kusimpan seumur hidupku. Setidaknya di hadapan orangtuaku, dan orang-orang yang membenci kaumku. Derry bukan tipe yang bisa menyimpan rahasia lebih lama. Untungnya, dia tidak suka rahasia. Untungnya, tidak ada yang mau membagi rahasia kepadanya. Namun satu rahasia yang bisa dia pegang selama empat tahun, adalah tentang kisah cintanya sendiri. Aku tidak tahu apa. Namun aku tahu ada rahasia di sana. “Aku mau datang ke Pameran Tumaninah. Sama Sissy. Kamu mau ikut?” “Anjing! Tai! Ngapain aing datang ke sana, hah?” “Ya kali aja mau nganterin. Katanya pacaran. Huh. Ya udah, aku pulang malem, ya.” “Sia mau sekalian ngublag, hah? Pulang mah Maghrib we. Aing di sini ama siapa?!” Aku mendengus kesal. “Anterin kalo gitu?” “Kampret! Sia pikir aing sopir, hah?” “Kan kita pacaran. Sekali-kali nganterin, dong.” “Sudi!” Derry meludah. “Ya udah, kita putus. Kamunya nggak mau nganterin!” “Eh, si Goblog!” Derry melompat dari pagar. Badannya sudah ancang-ancang mau menghajar. Namun dia hanya mengepalkan tangan. Tak berani. Dari napasnya yang memburu, aku tahu dia kesal. Dan, aku tahu dia tidak mau aku meninggalkannya. Maka dari itu, dia meludah lagi. Lalu dengan kasarnya menarikku. “Hayuk!” Sehingga pada akhirnya, aku berhasil duduk di jok belakang Motor Fast Furious-nya. Diantar ke tempat tujuan. Berhasil, batinku. Aku tidak perlu keluar uang enam ribu untuk dua kali naik angkot ke Setiabudi. Lumayan, bisa aku simpan untuk tiket masuk festival. Kenalkan Derry. Ceritanya, pacarku. Aku menjadi kekasihnya atas dasar sayang nyawa sendiri. Lelaki ini tidak jelek, kok. Sungguh. Ketika dia mengerut kesal, dia malah tampak seksi. Ketika dia beraroma garang, dia justru tampak menarik. Tapi aku tidak cinta dia. Sungguh. Aku hanya tidak akan berbohong kepadamu, bahwa Derry selalu sanggup membuatku membara. Namun kalau urusannya romansa... aduh... aku bahkan ragu Derry tahu apa itu romansa. Ini hari ketiga kami jadian. Sejauh ini, kami seperti preman dan korbannya. Aku, tentu saja, korbannya. Kami tidak berciuman. Padahal, sejauh ini aku sudah membobol gawangnya lebih dari enam kali. Kami juga tidak berpelukan. Padahal, kami berkutat di kamar kosan butut ini nyaris seharian. Mungkin Derry memang tak punya pengalaman dalam berpacaran. Mungkin Derry justru tidak mencintaiku. Mungkin hubungan kami hanya suatu kondisi terpaksa semata. Hanya saja, lucu rasanya pacaran dengan Derry. Hari pertama, aku mengajarinya untuk mengganti aing sia dengan sesuatu yang lebih ramah lingkungan. Berhasil? Tetot. Itu adalah usaha yang sia-sia. Padahal, dalam sejarah hidupnya, dia pernah mengalami fase gue-elo. Aku tidak mengerti, kenapa fase itu bisa hilang. Kan, keren. Aku saja tidak sanggup membiasakan diri menyebut gue-elo. Hari berikutnya, aku meminta dia melakukan sesuatu yang berguna. Bekerja, misalnya. Membantu orangtua, misalnya. Ikut gotong royong, misalnya. Nihil. Derry malah menghardikku. Katanya, jangan banyak bicara. Terserah dia. Jadi, dia akan kembali nongkrong di depan gang. Kembali mengganggu orang yang lalu lalang. Merokok dan mabuk-mabukan. Kalau sempat, mencuri dompet di Pasar Sederhana. Aku sudah menyerah di hari ketiga. Aku hanya jadi pelayannya saja. Nafsu, sudah pasti. Diperintah membeli ini itu ke warung, jadi makanan sehari-hari. Dipaksa mencuri mentimun di warungnya Mang Ade, mulai kulakukan di bawah ancaman Derry. Dia tetap lelaki sebengis bara api. Berpacaran dengannya seperti menulis kontrak mati. Akan terasa ajaib kalau suatu hari dia bersikap lembut padaku. Jangan padaku, deh. Pada diri sendirinya dulu. Tiga hari terakhir, kalau kamu mau tahu, Derry belum mandi. Akulah yang mengelap tubuhnya pagi ini. Itu pun tak semua. Jadi ceritanya, aku mengeluh karena dia makin bau. Setelah aku menyodominya pukul sembilan pagi, dia terkulai lemas di atas ranjang. Seluruh tubuhnya berkeringat. Kelaminnya tegang berdenyut-denyut. Ceceran pejuhnya sendiri sudah berubah transparan, mengering di atas perutnya. Lalu, aku berinisiatif mengambil baskom di bawah. Aku gayung air dari sumur, kubawa ke atas dan kulapkan di tubuh telanjangnya. Sepuluh menit pertama, dia tampak teler. Tidak sadar aku sedang mengelapnya. Kemudian, dia bangun. Dan dia memarahiku. Pada akhirnya, dia bau lagi. Tapi sudahlah. Aku hanya bisa berharap hubungan ini berhenti dengan segera. Gara-gara Derry jadi pacarku, aku jadi jarang pulang ke rumah. Ibu menanyaiku, kenapa aku menginap terus di Derry? Kenapa kamu pulang cuma waktu pagi? Mau ke mana kamu sekarang? Jangan dulu pergi, ini cepat rebus kol-kol Ibu! Namun Derry sebenarnya baik, kok. Atau setidaknya, ada satu sisi yang aku tak pernah tahu. Pertama, dia tidak akan membiarkanku tidur di atas lantai. Kasur tipis belelnya adalah hakku, katanya. Dialah yang akan tidur di lantai. Tepat di sampingku. Kalau aku minta tukar, dia marah. Kedua, dia tidak memukul siapa pun lagi tiga hari terakhir. Setidaknya, tidak di depanku. Aku tahu dia ingin sekali mencabik-cabik si Hari, anak kecil bandel yang tinggal di sebelah. Namun karena ada aku di situ, Derry cuma mengumpat sebal—tidak menjitak anak itu seperti biasanya. Ketiga, pada dasarnya, ketika aku meminta sesuatu, Derry akan melaksanakannya. Meski harus meludahiku dulu, atau menghardikku dan mengatakan aku banci. Sebelum aku minta diantar ini, aku tak sengaja bilang aku ingin bubur ayam. Derry ngomel-ngomel soal betapa manjanya aku jam segini ingin bubur, soal nggak punya selera bagus karena memilih bubur, dan soal menjijikkannya bubur karena Derry bilang: bubur mirip tahi. Namun sepuluh menit kemudian, dia menghilang entah ke mana. Begitu kembali... ada semangkuk bubur untukku. “Makasih udah nganterin!” Kami sudah tiba di tempat aku janjian bersama Sissy. Derry hanya mendengungkan, “Hmmm...” Sambil merebut helmku dan menggantungnya di lengan. Motor Fast Furious-nya tampak dekil sekali. Satu-satunya benda yang tak mau dijual Derry meski ekonomi keluarganya jatuh. Aku sepanjang jalan berjanji akan mencucinya sebagai hadiah mengantarku. Namun Derry pasti tertawa. “Ya, udah... Itu Sissy udah di sana,” kataku. Derry malas melihatku. “Kumaha sia,” bisiknya. “Awas! Jangan pulang kemaleman!” “Jemput berarti?” “Sudi!” Derry meludah, lalu pergi. Hahaha. Sudahlah. Terserah dia mau punya kelakuan bengis seperti Nazi. Sejauh ini nyawaku masih menempel di tubuhku. Aku masih aman. “Nicky Hiltooon!” teriak Sissy sambil berlari. Dia tampak segar dalam balutan celana army dan kaus biru cerah yang masih baru. “Aduh, aduh... yang barusan kan, Dodol tuh?” bisiknya heboh. Aku membalasnya dengan anggukan. “Lembayung, em? Sebenernya kalo dipikir-pikir, dia oke juga, Nikooo...” Selama aku menjadi korban Derry, aku selalu cerita pada Sissy soal lelaki itu. Aku samarkan menjadi The D, tetapi Sissy bersikeras memanggilnya Dodol. Aku pun ikut-ikutan. Kadang aku malah ingin menambahkan, “Waktu Dodol nungging gitu, ya, kan punggungnya kelihatan depan aku, tuh. Aku pegang-pegang, dan kenyalnya kayak dodol, sih...” Namun tak pernah kukatakan. “Udah, ah. Jangan bahas dia. Yuk, jalan. Masih jauh, kan?” “Cuma beberapa blok dari sini,” jawab Sissy. “Eh, kenapa nggak sekalian ajak Dodol aja?” “Biar kamu ada kesempatan buat ewita ama dia, gitu?” “Ya nggak gitu juga, kali...” Sissy merenggut selama tiga detik. Kemudian meralat, “Yah, siapa tahu juga, kan. Toh, kamu nggak semak-semak amat ama detseu.” “Sumpahnya, Sis,” aku meletakkan tanganku di bahu Sissy, “aku pengin banget kamu gantiin posisi aku. Tapi ngelihat kelakuan kamu kayak begini...”—kutatap Sissy atas bawah—“... nyawamu mungkin cuma bertahan tiga detik.” Sissy cuma manyun. Aku dan Sissy hari ini janjian untuk datang ke Pameran Tumaninah. Bukan pameran keagamaan, kok. Tenang saja. Malah, ini pameran untuk memperingati dukun paling misterius di Kota Bandung. Tumaninah berarti: Kutukan Rumah Nini Hegarmanah. Orang-orang sekitar yang membuat nama itu. Bukan si dukunnya. Konon katanya, ada dukun wanita pemelihara kunti, yang tinggal di sebuah rumah paling berhantu di Kota Bandung. Rumahnya sangat-sangat mistis karena banyak tukang nasi goreng yang menghilang setelah lewat sini. Aku sih nggak percaya. Tapi, Sissy percaya. Jadi aku ikut saja. Sissy bilang, dulu ada seorang nenek yang tinggal di sebuah rumah sekitar sini. Rumah tersebut sebenarnya biasa. Tidak ada kuburannya. Tidak ada sesajennya. Hanya tipenya saja yang kolonial yang mengiyakan status misterius tersebut. Orang sekitar bilang sih selalu ada kuntilanak di atap rumah. Duduk sambil mengayunkan kaki. Menyanyi dan menari-narikan kepalanya. Saksinya adalah semua tukang nasi goreng di daerah sini. Nenek itu terkenal, sebenarnya. Rajin meng-upload ke YouTube dan membuat heboh seluruh dunia. Dia memposting video lipsing sambil menampilkan penampakan kuntilanak di belakangnya. Sissy sampai melongo tiga hari melihat video itu. Baginya, kuntilanak di video itu nyata. Aku sih nggak percaya. Aku pikir itu cuma orang yang dandan sebagai kuntilanak. Beberapa tahun yang lalu, nenek itu meninggal. Pun kematiannya misterius. Ada yang bilang meledak di ruang meditasinya. Ada yang bilang dibunuh cucunya. Ada yang bilang dirasuki kuntilanaknya lalu bunuh diri. Yang pasti, setiap tahun, akan selalu ada pameran untuk mengenang nenek dukun itu. Pamerannya berlangsung selama tujuh hari. Pengunjung dapat melihat semua ruangan yang ada di sana, merasakan sensasi mistis yang katanya bertebaran di mana-mana. “Ini udah pameran ketiga aku dooong,” bisik Sissy semangat. “Untungnya tahun ini kamu pulang, Niko... Jadi aku ada temen.” Untungnya pameran ini ada. Jadi aku ada alasan lepas dari Derry. Kalau aku ketahuan punya waktu luang, Derry akan membuntutiku terus. “Pokoknya keren banget, lah entar di sana!” seru Sissy. “Pokoknya kamu nggak akan percaya deh ama semua yang ada di sana.” Emang dari awal aku sudah tidak percaya. Gimana, sih? Ketika kami sampai, banyak mobil bertebaran di sekitar rumah tersebut. Ada loket tiket. Ada orang yang mengantri di loket tiket. Astaga, untuk apa, sih? Bahkan, di salah satu dinding carport, ada banner kecil tentang pameran. Tentang acara tambahan, kelihatannya. Ada manusia genderuwo, ada pula manusia ular. “Yang itu bukan bagian dari rumah ini,” kata Sissy, memergokiku memandang banner itu. “Nggak ada hubungannya rumah ini ama manusia genderuwo itu. Itu mah cuma hiburan aja, mereka ngedatengin orang-orang sirkus buat bikin pameran ini menarik.” Astaga... bahkan jika mereka mendatangkan manusia kadal, aku tidak akan pernah tertarik, kok. Sissy pergi ke loket tiket, mengantri di sana sambil melambai kepadaku dengan semangat. Aku sih ogah ikut mengantri. Seperti orang tolol saja. Maksudku, aku ke sini untuk menemani Sissy. Bukan benar-benar menikmati wahana rumah tua ini. Aku menunggu di dekat pagar. Mencari posisi bagus untuk mengamati bangunan ini. Dindingnya tebal. Lembab dan tampak tak terawat. Sissy bilang, tidak ada yang tinggal di sini sehari-hari. Cucunya kabur ketika sang nenek meninggal. Alhasil, tinggal kuntilanaknya saja yang masih nongkrong. Itu pun agak diragukan keberadaannya. Karena tukang nasi goreng di sini tak pernah melihatnya lagi. Banyak yang berkeyakinan, bahwa kuntilanak itu adalah nenek itu sendiri. Aku mengamati lagi jendela-jendela rumah. Semuanya dilindungi teralis besi yang dingin. Banyak orang berkeliaran melihat-lihat. Seperti sedang open house saja. Seperti rumah ini sedang dilelang saja. Namun, aku akhirnya bisa mengerti mengapa rumah ini dianggap mistis. Karena memang dingin. Beberapa menit aku di sini, aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sungguh. Mungkin kamu bisa membayangkan berada di toko boneka di malam hari. Berada di depan ratusan benda mati yang kamu tak pernah tahu... bahwa bisa jadi, di malam hari, mereka bernyawa dan bergerak ke sana kemari. Rasanya tepat seperti itu. Aku memeluk diriku sendiri. Refleks tanpa kukendalikan. Mungkin aku juga takut menghadapi rumah ini. Mungkin sebenarnya memang ada nuansa mistis dari dalam rumah. Mungkin di atap itu ada kuntilanak yang mengamatiku. Padahal ini siang hari. Tapi... entahlah. Aku tak bisa menjabarkan ini dengan jelas. Hatiku berkecamuk antara mengikuti perasaan aneh ini, atau tertawa saja menertawakan Sissy yang percaya pada hal-hal gaib. Oh, Sissy masih mengantri. Sebesar itukah antusiasme orang-orang untuk datang ke pameran ini? “Argh!” Oh, ya Tuhan! Aku kaget sekali! Ketika aku menoleh ke arah kiri, ada seorang bocah berdiri di sana! Hoh... hoh... hoh... Aku mengatur napasku yang memburu. Meredakan jantungku yang bertalu-talu. Aku tak mengerti, sejak kapan ada anak kecil berdiri di dekatku. Sedari tadi aku melamun, aku ingat aku sendiri. Semua orang masuk ke dalam rumah, ingin melihat-lihat. Tidak ada yang berdiri di bawah pohon belimbing sambil menatap pintu depan yang ramai. Bocah itu berkulit gelap. Tipikal anak kampung sekitar sini yang suka main layangan. Bajunya juga dekil. Gambar superhero yang tak kukenal. Oh, tunggu... aku kenal. Itu Power Ranger. Bocah itu menatapku sambil memiringkan kepalanya. Tampak tertarik. “Kenapa, dek? Kok nggak masuk?” sapaku. Dia diam untuk beberapa saat. Matanya yang jernih menelitiku. Sungguh, deh. Matanya jernih. Seolah ada selaput air yang bersih di lapisan paling atas. Satu-satunya bagian dari dirinya yang tidak tampak dekil. “Namanya siapa?” tanya bocah itu. “Nama kakak, Niko. Adek namanya siapa?” Dia tidak menjawab. Malah, bocah itu mundur. Hanya dua langkah saja. Hanya demi memerhatikanku lebih luas lagi. Aku mengerutkan alis heran. Kenapa dia? “Mana temen-temennya, Dek?” Kali ini, dia langsung menjawab. “Nggak ada.” “Nggak datang?” Dia mengangguk. Selama beberapa detik, dia hanya diam saja di sana. Memperhatikanku. Sesekali kepalanya miring, sesekali menatap perutku. Kemudian, Sissy datang sambil membawa tiket untukku. Dan, anak itu pergi. Berlari ke belakang rumah melewati lorong kecil di samping sebuah kamar. Mungkin dia anak salah satu pengunjung di sini. “C’mon Bitch, lewat sini. Aduh, aku nggak sabar pengin lihat lagi tahun ini displaynya kayak gimana,” kata Sissy. Padahal, ini sudah kali ketiga Sissy ke sini. Mungkin dia sudah hafal lekuk-lekuk sudut rumah ini. Namun selalu saja dia tampak antusias. Kami memasuki balkon dari tegel abu-abu yang berdebu. Ada tanaman rambat dikondisikan di pinggir pagar balkon, beberapa orang duduk di sana sambil membahas semua hal yang ada di sini. Namun Sissy langsung menarikku ke dalam. Masuk ke ruang tamu yang ramai. Dipenuhi lukisan-lukisan. “Ini bukan asli si nenek dukun itu,” kata Sissy sambil menunjuk semua lukisan itu. “Ini paling... lukisan sampah biar pamerannya serem. You know, lah, Dear... Sebab tahun kemarin aku nggak ngelihat ini.” Ada lukisan Nyi Roro Kidul, ada lukisan kereta kencana, ada juga lukisan wanita bergaun putih di depan pohon pisang. Di ruangan itu pun ada sofa yang diduduki nyaris oleh semua pengunjung. “Pasti kursi ini pernah didudukin sama si dukun!” kata salah satu pengunjung. “Mungkin sama kuntilanaknya juga!” Lalu mereka merinding dan haha-hihi, sambil dengan centilnya pindah ke ruangan lain. “Serem ya, serem...” Kalau bukan karena Sissy dan Derry, seratus persen aku tidak akan datang ke sini dari inisiatif sendiri. Sissy mengambil salah satu brosur sejarah Tumaninah. Dia memberikannya padaku dan membiarkanku membacanya. Lalu, selama sepuluh menit berikutnya, Sissy akan melompat dari satu display ke display lain. Asyik sendiri. Di belakangnya aku mengekor. Membaca ulang brosur, atau melipat-lipatnya. Oke juga, sebenarnya. Iya betul, rumah ini cukup seram. Minus manusia genderuwo yang katanya anak jin itu, ya... Karena Sissy sejuta kali bilang mereka nggak ada hubungannya sama si nenek dukun. Ada kamar-kamar tidur yang didisplay menyeramkan. Ada kamar sang cucu. Dibuat rapi dan bersih. Selimutnya terlipat dengan baik. Lemarinya berdiri tegak dekat jendela. Oh, aku ingin sekali punya kamar seperti ini. Menghadap langsung ke halaman depan. Meskipun di balik jendela berteralis yang menyeramkan. Di beberapa bagian, ada stiker yang menunjukkan sejarah ruangan ini. Misal, di atas lemari, ada stiker bertuliskan, “Kuntilanak pernah duduk di sini.” Atau di salah satu sudut dekat nakas, “Hantu Tukang Kebun bergentayangan di sini.” Astaga. Konyol. Sumpah, deh. Bisa-bisanya ada ratusan orang yang rela membayar tiket demi melihat ruangan kosong yang ditempeli stiker. Kalau begini caranya, aku bisa menempel, “Ada pocong melompat-lompat di sini,” di warung lotek Ibuku, lalu menjual tiketnya supaya orang-orang bisa melihat. Aku kasihan pada orang-orang di sini. Sungguh. Mereka jelas-jelas tertipu. Sissy bergerak ke ruangan lain. Aku membuntutinya. Kadang kami berpisah. Misal Sissy asyik melihat display sesajen di ruang tengah, sementara aku masuk ke dapur yang dipenuhi makanan lezat. Namun, makanan itu untuk display saja. Konon katanya, menurut info bar di situ, anak tukang kebun selalu membuat makanan-makanan enak... yang ada racun di dalamnya. Aduh, apaan sih? Di ruangan lain, ada satu tempat di mana proyektor disorotkan ke sebuah tembok. Selama bermenit-menit diputar semua video YouTube yang pernah diunggah si nenek. Dia tidak pernah sendiri dalam video itu. Kadang berdua dengan temannya, kadang se-RT bikin video. Selalu saja ada penampakan kuntilanak dalam video itu—yang sudah kutonton sejuta kali gara-gara Sissy memaksaku menontonnya. Di bagian dinding yang lain, ada footage Masih Dunia Lain, liputan TvONE, hingga Discovery Channel, yang semuanya pernah menggunakan rumah ini sebagai objek acara mereka. Masih di dinding yang sama, ada pigura cantik dengan foto Tukul Arwana dan Citra Prima, berfoto di halaman belakang bersama kru. Acaranya Mister Tukul Jalan-Jalan. Ini benar-benar berlebihan. Semistis apa emangnya rumah ini? “Argh!” Astaga! Bocah itu muncul lagi! Tiba-tiba saja dia ada di sampingku. Berdiri sambil menatapku dengan tatapan antusias. Aku mengurut dada karena kaget. Setelah merapikan napas, aku bertanya padanya. “Adek sendirian di sini?” Dia tidak menjawab. “Adek kenapa, sih?” Aku sampai jongkok untuk menyamakan posisi. Bocah itu tak berekspresi sedikit pun. “Adek mau kakak temenin keliling?” Dia diam sejenak. Namun, tak disangka-sangka... dia mengulurkan tangan. Oke, mungkin dia butuh teman. Dari pada dia mengagetkanku untuk yang ketiga kalinya, aku genggam saja tangannya. Kubawa dia ke ruangan lain. Mengamati semua display tidak penting yang dipamerkan. Jujur saja, tangannya dingin. Seolah dia baru memegang es, lalu dia memegang tanganku. Namun aku tidak mempedulikan itu. Karena, bocah itu tak memperhatikanku lagi. Dia justru ikut menikmati display-display bersamaku. Sissy gabung bersama kami beberapa menit kemudian. Tampaknya dia tidak keberatan dengan kehadiran bocah kecil yang kutuntun sepanjang pameran. Sissy hanya peduli pada misteri rumah ini. Menceritakan ulang padaku tentang rumor hantu tukang kebun dan perjanjian setan. Memasuki ruangan penuh display foto seorang anak. Lalu ruang tengah yang menjadi background semua video tadi. Hingga halaman belakang yang ada galian tanah sedalam satu meter. Sissy bilang, anak tukang kebun dikubur hidup-hidup di sini. Aku menoleh ke bocah yang masih asyik kutuntun. Dia pun menatap lubang itu penuh minat. Nyaris saja aku berpikir bocah ini adalah anak tukang kebun yang dikubur hidup-hidup di sini. Maksudku, kehadirannya misterius. Mungkin saja dia hantu. Meski itu tak mungkin. “Aku ke toilet dulu,” kata Sissy kemudian. “Kamu tunggu di sini ya, Ko. Kayaknya lama, sih. Sebab dari tadi ngantri.” “Oke, aku masuk ke ruangan sana aja, ya.” “Oh, iya. Bener. Masuk sana. Itu workshop tukang kayu. Banyak pigura cantik di sana.” “Ayo,” kataku ke si bocah. Kami lalu masuk ke workshop kecil di halaman belakang. Ada beberapa orang di sana, mengamati display pigura-pigura kayu. Ruangan ini tidak terlalu seram. Namun lebih baik. Setidaknya tidak ada stiker yang bertuliskan, “Kuntilanak pernah nongkrong di sini.” Aku melihat-lihat selama semenit. Lalu, berhenti pada satu pigura cantik selama tiga menit. Pigura itu sederhana. Namun, dipahat dengan sempurna. Ada satu ukiran cupid di atasnya, sedang mengacungkan busurnya. Selain aku, ada juga satu cowok yang memperhatikan pigura ini lebih dari satu menit. Lumayan cakep cowoknya. Berwajah bulat, berkacamata, dengan jaket kulit cokelat. Perutnya agak buncit, tapi justru itu bikin imut. “Saya suka pigura ini,” kata cowok itu kemudian. Aku celingukan sesaat, memastikan kalau akulah yang dia ajak ngobrol. Benar, aku. Dia juga tidak sedang menelepon. “Iya,” balasku. “Simpel tapi bagus.” “Lihat itu detail cupidnya. Penuh misteri.” Misteri apanya? “Cupidnya bagus.” Kami terdiam sepuluh detik. Lalu, dia menoleh. “Sering ke pameran ini?” “Eh, nggak pernah. Ini baru yang pertama.” Dia tersenyum lebar. Tampak manis sekali. “Saya sih suka yang berbau-bau misteri. Bukan hantunya, tapi misterinya. Rumah ini banyak misteri yang bisa dipecahkan.” “Misalnya?” “Misalnya tentang... di mana cucu si nenek sekarang.” Misteri macam apa. Aku sampai mendengus dalam hati. “Udah dipecahkan?” “Belum.” Dia menggesek dagu sambil melipat tangan di depan dada. “Misteri di sini rumit. Saya udah dua tahun terakhir nge-track misteri rumah ini, Kang. Nggak nemu-nemu jawaban yang memuaskan.” “Buat apa emangnya kalau udah ketemu?” “Buat buku.” Lalu dia tersenyum. “Saya Faisal,” katanya, mengulurkan tangan. “Saya fotografer. Saya lagi mau bikin buku tentang misteri rumah ini. Semua sudut udah saya capture. Tinggal cerita di baliknya.” “Oh, oke... saya... Nico.” “Ada kartu nama?” Dia pikir aku pengusaha? Aku menggeleng. “Nomor telepon deh kalo gitu,” katanya. “Kali aja bisa aku jadiin narasumber. Misalnya bagian, ngng... pendapat warga sekitar.” Astaga. Aku juga bukan warga sekitar. Rumahku jauh dari sini. Namun, tanpa banyak bicara, aku berikan juga nomorku, dan dia memberiku kartu namanya. Ah, betul. Dia fotografer. Tercetak jelas di atas kartu. “Udah nemu apa aja?” tanyaku. “Yaaah... beberapa, lah. Misteri anak tukang kebun dikubur hidup-hidup itu udah saya dapat info akuratnya.” “Oke.” Kami melihat lagi ke pigura itu beberapa saat. “Kalau pigura ini? Ada misterinya?” “Bisa jadi, iya. Bisa jadi, nggak.” Kami terdiam lagi. Kali ini, aku fokus pada celah kecil antara pertemuan kusen pigura. Seolah pigura itu tidak dipaku dengan rapat. Hanya celah kecil saja, tapi mengganggu. Rasanya seperti pigura ini akan jatuh dan tercerai berai. “Sayang, ya. Bagian ininya nggak rapat,” kataku. “Mana?” Faisal mengeluarkan kameranya lalu memotret. “Oh, iya. Padahal barusan nggak kayak gitu, ah.” “Masa?” Kalau begitu, sejak kapan celah itu ada di sana? Sejujurnya, aku juga tidak menemukan celah itu ketika tiga menit menatap pigura ini. Tahu-tahu saja celahnya muncul dan mengganggu sistem OCD-ku. “Ini baru,” ujar Faisal. “Beneran, tadi nggak ada celah ini.” Tiba-tiba saja Faisal berubah antusias, lalu memotret berkali-kali celah tersebut. Seolah ini penemuan baru. Maksudku, itu hanya celah kecil. Aku sering sekali membuat kerajinan tangan. Ketika kutempel dengan lem, semuanya tampak sempurna. Ketika aku menoleh dan kembali lagi, tempelannya sudah terangkat. Semua sangat wajar terjadi. Tidak perlu seantusias itu, seharusnya. Semua orang di sini sama saja. Eh, tunggu. Sepertinya ada sesuatu di balik celahan itu. Samar-samar, aku bisa melihat benda kecil menyembul dari dalamnya. Tidak jelas, sih. Tapi karena aku menyipitkan mata, mendekatkan pandanganku ke celah, aku menemukan sesuatu tertanam di sana. “Ada sesuatu di situ,” kataku. “Mana?” Faisal memotretnya dulu sebelum dia ikutan mengamati. “Kertas, ya?” “Kertas rahasia?” kataku sambil tertawa. Namun, Faisal tidak tertawa. Dia tampak serius. Mungkin baginya, memang benar itu kertas rahasia. “Kita boleh buka ini nggak?” tanya Faisal. Aku menoleh sekitar. Sebenarnya tidak ada petugas jaga sih di sini. “Kayaknya jangan, deh. Lagian paling itu cuma cacat kecil aja. Nggak ada apa-apanya. Mungkin itu cuma serpihan koran yang masuk ke dalam pigu—“ Terlambat. Faisal menarik celah itu sampai terbuka. Struktur pigura itu terdiri dari dua kayu yang ditempel depan belakang. Satu kusennya dapat dibuka dengan mudah oleh Faisal. Mungkin lemnya kurang terpasang dengan baik? Faisal sempat celingukan mengecek sekitar. Memastikan tidak ada yang melihat. “Apa ini?” Faisal menarik sebuah jurnal lusuh dari balik rangkapan kusen itu. Bentuknya seperti jilidan makalah. Tanpa sampul. Terdiri dari berlembar-lembar kertas, digulung, dan dijejak ke dalam kusen. “Buat ganjel?” “Nggak mungkin,” kataku. Sebab, struktur kusen yang lain tampak kuat. Aku memeriksa kusen yang dilepas oleh Faisal. Ada lubang yang sengaja diciptakan untuk menyimpan jurnal itu. “Ini disengaja.” “Ini misteri,” simpul Faisal. “Mungkin petunjuk?” Astaga. Mana mungkin sih itu petunjuk. Bisa jadi itu cuma akal-akalan penyelenggara supaya semua hal di rumah ini tampak misterius. “Apa isinya?” tanyaku. Faisal menggeleng. Tangannya sibuk membolak-balik kertas. Tidak ada apa-apa di sana. Kosong. Hanya berlembar-lembar kertas kuning yang kosong. “Ada pesan rahasia,” ujar Faisal. Ya ampun, apalagi. “Lihat ini!” Faisal menggosok-gosok sedikit ujung kertasnya. Tampak serapan minyak muncul dari kertas, membuatnya transparan. Ketika kertas itu diarahkan pada cahaya, ada serentetan tulisan. Tentunya tulisan yang tak terbaca. Aku bisa mendeteksi huruf A, atau M. Namun sisanya blur. Apa benar ini pesan rahasia? Maksudku, semua orang menyimpan rahasia di otaknya masing-masing. Ibu tak pernah menuliskan rahasia belatungnya di kertas apa pun. Ayah tak pernah menyembunyikan rahasia Neng Surti-nya di pigura apa pun. Dan kini ada jurnal “rahasia” dari balik pigura? Ada sedikit rasa penasaran membuncah dari diriku. Bisa jadi ini akal-akalan penyelenggara. Namun sekonyol apa pun itu kelihatannya, pasti ada maksud tertentu menyembunyikan jurnal tak terbaca di kusen pigura. Barangkali kami bisa mendapat grand prize ketika berhasil menebak jurnalnya? Barangkali Faisal bisa menemukan kunci semua misteri yang dicarinya? Siapa tahu, kan? “APA-APAAN INI?!” Dari dalam rumah, kami mendengar sayup-sayup orang berteriak. Semua orang di workshop bisa mendengarnya, karena kami semua menoleh ke arah pintu bersamaan. Aku dan Faisal bertatapan. Orang-orang di workshop itu juga. Dalam waktu singkat, kami semua menghambur keluar, ingin tahu apa yang terjadi. “KAMU PIKIR INI BAHAN CANDAAN, HAH?!” Ada seorang lelaki berkemeja putih membentak petugas jaga. Lokasinya tepat di dekat dapur. Semua pengunjung membeku, menonton adegan dramatis itu. Lelaki itu nyaris menonjok petugas jaga, tetapi ada seorang wanita socialite di belakang lelaki kemeja putih yang menahannya. “Udah, udah, ah... malu... It’s so lame, Darling!” kata wanita itu. Lelaki itu bertubuh tinggi, berbahu lebar. Dari lencana yang menempel di dada kirinya, dari strip yang bertengger di bahunya, aku bisa menyimpulkan dia pilot. Dasinya gelap, dengan bros pesawat menempel. Salah satu tangannya juga menenteng jas hitam besar dengan bros dan kancing emas. Aku belum pernah naik pesawat. Aku juga belum pernah bertemu pilot. Namun dari semua film-film yang kutonton, dia jelas seorang pilot. Lelaki itu, jujur saja, tampak mempesona. Mengenakan seragam ngepas badan. Yang menjadi ngepas karena tubuhnya berotot. Rahang mukanya jelas, dengan bekas cukuran seperti model Eropa. Wajahnya juga enak dilihat. Seperti dewa yunani. Seperti Hermes. Ketika dia marah-marah, dia tampak berenergi. Aku selalu suka lelaki yang berenergi. “Kamu pikir kamu siapa, hah?! Mana bos kamu?!” kecam lelaki itu. Wanita yang kuduga istrinya itu mencoba menengahi. “Udah, ah, Darling. Jangan loud-loud. Slow down aja suaranya. Kita kan baru arrived—“ “Ini keterlaluan!” pekik si lelaki. Sambil melempar jas pilotnya pada sang istri, lelaki itu menarik petugas jaga masuk. “Bawa saya ke bos kamu! Cepat!” Lalu semua pengunjung berbisik-bisik. Dari halaman belakang, aku masih bisa mendengar lelaki itu berteriak. “Kalian pikir Nenek ini manusia purba, hah?!” Diikuti si istri yang juga masuk ke dalam. “Siapa itu?” tanyaku. Faisal mengangkat bahu. “Saya juga baru lihat. Tahun kemarin nggak ada drama kayak begitu.” “Apa itu cucunya?” “Bisa jadi.” Semua orang terkejut dengan kehadiran lelaki gagah itu. Sekumpulan orang langsung mencatat, sekumpulan lain langsung berhipotesa. “Pasti itu cucunya, saya yakin!” “Ah, bukan. Paling itu aktor.” “Nggak, kok! Beneran. Sebab dia marah-marah. Mungkin itu cucunya yang hilang. Disantet mungkin, terus hari ini sadar.” Ngomong-ngomong soal cucu, aku tak menemukan lagi bocah yang seharian ini ada di sampingku. Dia sudah hilang entah ke mana. Entah kapan. Mungkin dia kembali pada orangtuanya? “Kamu lihat anak kecil yang tadi ada di samping aku?” tanyaku. Faisal menggeleng. “Anak kecil?” “Yang pake baju Power Ranger.” Faisal mengingat-ingat. “Aku nggak lihat anak kecil dari tadi. Anak kecil yang kayak gimana?” “Yang sama aku pas masuk. Pas lagi lihat pigura aja masih ada, kok.” Faisal mengerutkan alis. “Bukannya sedari tadi kamu sendirian?” Sendirian? Aku ingat sekali membawa anak kecil itu masuk ke dalam workshop. Apa dia kabur ketika aku melihat-lihat pigura cupid itu?