Kamis, 19 Januari 2017
:: Lelaki hujan II
Friday Night
“Apa yang kamu bilang, Sayang? Kamu lihat Dennis?”
Dicky tahu Ibu tidak akan percaya. Apalagi kalau Dicky bilang Dennis menjadi halimun pekat. Memutih. Ibu akan kembali bilang Dicky gila. Ibu akan mengacungkan balok kayu itu, menjeritkan kata-kata menyakitkan.
Tapi Ibu tidak jahat. Dicky percaya itu.
Ibu hanya butuh seseorang yang mau mengerti Ibu.
“Di mana?”
“Di rumah Nenek.”
“Kalau sekarang?”
Dicky menelan ludah. Bagian yang Dicky benci. Menerangkan fantasi mustahil meski itu kenyataannya. Tak perlu kapasitas 10 gigabyte memori untuk merekam semua itu. Otak Dicky masih mengingatnya dengan jelas. Dennis membaur begitu saja dengan udara.
“Hilang,” jawab Dicky.
“Dia kan selalu hilang.” Ibu geleng-geleng kepala melihat Dicky.
Dicky masih ingat penggalan detik terakhir Dennis. Dennis berontak minta dilepas. Agas ingin membawa Dennis ke Dicky. Tapi Dennis lenyap. Wuzzz. Seperti yang Dicky bilang tadi, seperti halimun pekat. Sewaktu Dicky menginterogasi Agas, Agas bilang itu memang Dennis. Menjadi cupid.
Dicky jelas nggak percaya.
Cupid itu nggak ada.
Cupid itu hanya fantasi mitos belaka.
Hanya memenuhi kepala Dicky, membuat Dicky selalu menggoreskan lekuk-lekuk tubuhnya dalam pahatan bingkai.
Kalau saja Dicky cerita soal cupid pada Ibu, Ibu dijamin tertawa. Sampai pagi buta esok harinya, Ibu masih tertawa. Ibu tidak gila. Ibu hanya tidak peduli pada rambutnya, tapi masih punya otak.
Karena Ibu hanya membutuhkan orang yang mau mengerti Ibu.
(Dan Dicky sudah berusaha.)
Dicky menutup pembicaraan itu, membereskan meja makan dan membiarkan Ibu menikmati yoghurt terakhirnya. Tapi Ibu menghentikan gerik Dicky. Ibu membuat Dicky menahan piring di udara. “Seperti apa rupanya? Dennis. Dia kelihatan seperti… manusiakah?”
Dicky menelan ludah. Bimbang antara membiarkan diri sendiri ditertawakan atau menganggap Ibu mulai lenyap kewarasannya. Mulai membahas seseorang yang berbelas tahun terakhir tak pernah ada.
“Seperti manusia,” jawab Dicky. “Tapi mungkin itu imajinasi Dicky.”
“Semua kenyataan berasal dari imajinasi,” potong Ibu. “Cerita ke Ibu. Dennis seperti apa? Ganteng seperti kamu? Sehat?”
Ibu bertanya seolah baru kemarin ketemu Dennis. Senyumnya tidak mengabarkan kalau dia tidak bertemu putra bungsunya berbelas tahun. Ibu tetap tampak seperti psikolog yang dibayar mahal. Duduk dengan wibawa. Mengedikkan kepala dengan anggun.
“Dennis sehat. Dennis ganteng. Lebih ganteng dari Dicky.” Dicky tertawa, mencairkan suasana. Dicky tahu Ibu paling suka menganggap anak-anaknya ganteng. Dicky bisa melihat dari senyum dikulum Ibu yang membuat wajah Ibu terlihat manis. “Tapi... Dennis keburu hilang.”
“Kenapa dia hilang?”
Dicky mengangkat bahu. Dicky bergegas ke dapur, mencari alasan untuk menghentikan pembicaraan ini. Entah apa yang membuat Dicky bicara. Topik itu mendadak keluar begitu saja. Seolah Dennis adalah pembicaraan sehari-hari. Seolah Dennis ada di sekitar kami.
“Kapan kamu ketemu Dennis?”
Ibu bertanya lagi. Masih duduk di ruang makan. Dicky bingung. Dicky nggak tahu harus jawab apa sekarang. Nanti dipikirnya, Dicky nggak waras. Nanti Ibu bakal pukul Dicky lagi.
Sebab, Dicky ketemu Dennis berhari-hari lalu. Jauh sebelum kematian Nenek. Tepat beberapa hari setelah Cazzo, laki-laki yang naksir Agas itu, diculik Iblis.
Aku berhenti sejenak.
Cazzo.
Ada nama Cazzo di sini.
Aku jadi teringat Cazzo yang bangun tidur dalam pelukanku pagi ini.
Dia...
“Kamu nggak kepanasan?” tanya Faisal.
Aku mendongak dari catatan. Jantungku berdegup sekali. Mendadak.
Faisal sedang telanjang dada.
Entah muncul dari mana, aku merasakan darahku berdesir menatap tubuh Faisal yang tak berbalut kain. Padahal, badannya bukan badan paling oke. Malah, buruk. Persis Derry. Perutnya agak buncit. Nggak berotot sama sekali.
Kelaminku menegang. Normal, sih. Di depanku ada laki-laki telanjang.
Namun aku harus fokus. Aku, kan sedang membaca catatan.
“Seriusan, kamu nggak kepanasan?” kata Faisal lagi. Dia berkeringat.
Aku mulai merasa aneh. Kukira dia bercanda soal kepanasan itu. Namun kulitnya mengkilat. Penuh keringat. Dia betulan sedang kepanasan.
“Kamu sakit?” tanyaku.
Faisal menggeleng. “Nggak, kok. Tapi saya kayak yang gerah. Padahal di luar hujan gede.”
“Mau aku beliin obat?”
“Nggak usah.” Faisal duduk di atas tempat tidurnya. Dia menggelengkan kepala. Menjernihkan otak. “Sorry saya buka baju,” katanya. “Lanjut aja bacanya.”
Oke. Lanjut.
Selama ini Dicky berusaha melupakan kejadian itu. Tapi bayangan wajah Dennis terus melekat di otak Dicky. Membuat malam Dicky seterang siang, membuat siang Dicky sekelam malam.
“Kapan?” Ibu dengan tenang bertanya lagi. Kali ini mulutnya dengan cantik menggigit biskuit.
“Kenapa Ibu mau tahu?”
“Karena kamu bilang ketemu Dennis, ya Ibu pingin tau.”
“Nanti Ibu nggak akan percaya.”
Ibu tergelak. “Jadi kamu berharap Ibu percaya?” Alis Ibu terangkat. “Haruskah Ibu percaya? Ibu kan cuma minta diceritakan. Banyak penulis novel menulis cerita bohong, tapi Ibu tetap membaca tulisan mereka.”
Dicky duduk di seberang Ibu. Memutar-mutar sendok dengan ragu. Dicky berdecak. Hati Dicky berkecamuk antara berkisah atau tidak berkisah. Melihat delik mata Ibu, kasihan Ibu kalau Dicky nggak cerita. Melihat delik mata Ibu, kasihan juga Ibu kalau Dicky cerita—takut itu membuatnya sedih.
“Jadi kamu mau cerita?”
“Oke. Dicky mau cerita,” jawab Dicky. “Dicky ketemu Dennis udah agak lama. Lebih dari sebulan lalu. Sebelum Nek Alia meninggal.”
“Kenapa baru nyerita sekarang?”
“Karena Dicky nggak yakin waktu itu ketemu Dennis.”
“Kalau sekarang udah yakin itu tuh Dennis?” Ibu mengambil biskuit.
Dicky mengangkat bahu. “Dicky cuma punya feeling... kalau mungkin itu Dennis. Semalem Dicky mimpiin sosok itu lagi. Sosok Dennis. Udah gede. Dennis nyuruh Dicky buat ngunjungin Esel. Dicky cuma geleng-geleng kepala aja. Namanya juga mimpi.”
Astaga. Beneran. Ada nama Esel.
Ada nama Cazzo.
....
Ini nggak ada kaitannya dengan Cazzo dan Ayysell yang aku temuin akhir-akhir ini, kan?
Yang namanya Cazzo sama Esel harusnya banyak, kan?
“Yang namanya Cazzo sama Esel banyak, kan?” tanyaku, melontar ulang apa yang ada dalam otak.
Kulihat Faisal sedang memicingkan matanya kuat-kuat. Pelipisnya dipijat. Dia seperti sedang sakit kepala. “Kenapa,Faisal?”
“Apa?” tanyanya.
“Kamu sakit?” tanyaku.
“Bukan, bukan. Saya cuma kepanasan. Aneh ini juga.”
Aku meletakkan catatan tulis ulang jurnal di atas meja. Kuhampiri Faisal. Kusentuh badannya...
... dingin.
Dinginnya sama seperti badanku.
Dingin karena di luar hujan deras.
Meski keringat itu tetap nyata.
“Sebelumnya kamu sering kayak begini?” tanyaku.
Faisal menggeleng. “Baru sekarang kayak begini. Aaahhh.”
“Aku ambilin handuk, ya. Lap keringatnya.”
Faisal mengangguk.
Aku masuk ke kamar mandi Faisal dan menemukan handuk merah lembap. Kuambil handuk itu dan berniat kuberikan padanya. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Faisal sudah berdiri di tengah ruangan. Berdiri tegak. Seperti komandan upacara. Petir menggelegar di luar, sebagian cahaya kilatnya menerangi satu sisi tubuh Faisal.
Aku menelan ludah.
Aku takut.
Kenapa Faisal jadi seperti orang kesurupan?
“Ba-badannya masih panas?” tanyaku.
Faisal mengangguk. Matanya memerah.
“Ini handuknya.” Aku menelan ludah.
Faisal nggak mengambil uluran handukku.
Faisal mulai membuka kancing celananya. Melucutinya. Dadaku berdebar lebih kencang sekarang. Bukannya aku nggak suka sama pemandangan ini. Tapi... antara Faisal memang bercanda, atau dia sedang kesurupan. Aku selalu punya fantasi bercinta dengan cowok straight. Faisal ini dilihat dari sudut mana pun: straight. Badannya nggak bagus, tapi straight. Jadi, meski badannya bagus, yang penting straight dan wajahnya oke, aku bakalan sangat bergairah.
Dan, ya, aku mendadak bergairah.
Faisal telanjang sekarang. Kelaminnya menggantung di bawah jembut keriting yang agak dirapikan. Kelamin itu disunat rapi. Agak membesar. Agak berdenyut-denyut. Agak mengeras ketika cahaya kilat petir kembali memotret salah satu sisi tubuh Faisal.
Aku menjatuhkan handuk merah itu. Bukan demi suasana dramatis. Aku setengah ketakutan, setengah ingin melanjutkan. Situasinya persis ketika Cazzo menyiapkan omlet untukku pagi ini. Atau ketika Derry mendadak ingin bercinta. (Hantu Derry, maksudku.) Bedanya, selalu saja ada alasan bagiku untuk gagal bercinta dengan Cazzo dan Derry. Namun di sini?
Aku nggak mungkin berlari keluar dalam hujan deras.
Apalagi ketika ada cowok menarik telanjang di depanku.
Yang kelaminnya, selama aku berkata-kata dalam hati barusan, sudah mengacung ke udara.
Hffft. Nggak gede. Tapi oke.
“Faisal?” tanyaku.
Faisal menelan ludah. “Saya nggak tahu kenapa. Tapi pas lihat kamu sekarang, saya jadi pengin....” Faisal nggak melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu menggantung di bawah berisiknya hujan deras. Hal itu membuatku penasaran setengah mati.
Pengin apa?
Makan bakso?
Main sama lumba-lumba?
Kelaminku sudah mengeras seutuhnya sekarang. Faisal diam saja di sana. Dia belum melanjutkan kata-katanya. Aku merasakan libidoku kembali melambung naik. Mungkin, karena ini sudah sore, libido itu merapel semua hasrat yang kurasakan sejak pagi, melewati siang, hingga sekarang. Aku tak melihat kabur sebagai sebuah pilihan. Jantungku berdebar kencang, tetapi mataku fokus melihat organ yang menggantung di bawah perut besar Faisal.
Namun kami tetap diam. Tetap dihujani kilatan-kilatan cahaya petir, seperti dalam film-film vampir. Kalau Faisal ingin begituan, kenapa tidak bilang? Toh, aku tidak akan menolak. Untuk pertama kalinya hari ini aku yakin, aku tidak akan menolak.
Aku sih tetap lebih ingin bercinta dengan Cazzo. Namun kemungkinan aku bisa direngkuh oleh tubuh telanjang Cazzo semungkin matahari beranak pinak menjadi banyak. Matahari yang menyinari bumi, maksudku. Bukan matahari yang jualan baju dan setiap bulan menyelenggarakan diskon. Aku bisa saja bercinta dengan Derry kapan pun aku mau. Tapi, masa iya Derry lagi? Sementara di sini ada cowok straight telanjang yang tampak ikhlas aku jamah di bagian mana saja.
Setelah meyakinkan diri, aku maju. Aku mengulurkan tangan untuk menggelitiki putingnya. Faisal bergidik geli dan tersenyum.
Dan tersenyum, camkan itu. Dia nggak menolak.
Ketika aku meraba kulit dadanya yang halus itu, mata Faisal terpejam. Menikmati. Mulutnya mendesiskan sebuah desah. Aku melirik kelaminnya. Benda itu berdenyut semakin hebat.
Mungkin memang ini caranya bercinta denganku.
Mungkin memang ini saatnya aku bercinta.
Aku tak akan menceritakan dengan detail bagaimana kami melakukan itu. Biarkan itu kunikmati sendiri. Yang pasti, di bawah suara tawuran air di atas genting, juga cahaya petir yang berkali-kali memotret, aku melakukannya bersama Faisal.
Aku menjilat nyaris seluruh bagian tubuhnya. Faisal bergidik nikmat dibuatnya. Aku meraba dan mencubit nyaris semua permukaan kulitnya. Faisal mendesah dan mengedikkan kepalanya. Ketika aku mengulum kelaminnya ke dalam mulutku, Faisal menengadahkan kepala. Dia tidak tampak seperti lelaki gay yang jari kelingkingnya menari cantik sambil menggenjot maju mundur. Kedua tangannya meremas kepalaku dengan jantan.
Aku digagahi olehnya. Dan, rasanya nikmat.
Dia memperlakukanku seolah aku ini perempuan. Senyumnya berkali-kali dia lukis, setiap aku ketahuan mengamati wajahnya. Tangannya berkali-kali meremas dadaku, setiap kali aku mendesah menikmati. Ketika kelaminnya menusuk duburku, rasanya enak. Mungkin inilah yang dirasakan Derry selama ini. Ada satu titik di bagian dalam yang membuatku sesekali menggelinjang karena keenakan. Ditambah sugesti kelamin seorang lelaki yang keras seperti besi sedang berusaha menggelitiki diriku.
Kami menghabiskan sekitar empat puluh menit melakukan semua itu. Lebih lama dari semua film bokep yang kudownload. Aku selalu terpukau ketika Faisal berkali-kali melihat kelaminnya sendiri, menatapnya seolah memohon. Memohon aku menjepitnya lebih kuat lagi. Seolah pusaka itu di bawah kendaliku sekarang. Seolah pusaka keras itu tak berdaya di dalam tubuhku sekarang.
Faisal memuntahkan pejuhnya di atas perutku.
Putih kental. Hangat-hangat susu.
Ketika semua cairan putih itu melompat keluar, tubuh Faisah berkilat oleh keringat. Dia tersenyum lebar. Tampak puas. Dibaringkannya tubuh besarnya itu di sampingku, persis anjing laut. Kemudian, desah napasnya mulai teratur. Dan, dia tertidur.
Aku menghabiskan lima menit berikutnya melamun.
Sepuluh menit berikutnya mengingat-ingat adegan seks manis yang baru saja kulakukan.
Lima menit berikutnya merasa bersalah pada Derry.
Lima menit berikutnya merasa ingin melakukannya lagi dengan Faisal. Ya, aku puas bingit pakai pisan. Aku masih bisa merasakan titit mungil itu mendobrak bagian dalam pantatku.
Keras, dan ... aaah, apa aku perlu memasukkannya lagi? Tapi Faisal sedang mendengkur di sampingku. Seperti Gloria. Dari film kartun Madagascar.
Akhirnya, aku menghabiskan dua puluh menit berikutnya membersihkan semuanya. Hujan berhenti saat itu. Faisal terbangun. Sudah kupasangkan celana.
Ketika dia melihat diriku, wajahnya memerah malu.
“Sa-saya... saya tadi ngapain...?” katanya pelan. Menelan ludah.
Dalam raut wajahnya, tampak penyesalan yang sangat-sangat-sangat dalam. Tatapan matanya seolah meleleh karena ketakutan. Sudut bibirnya seolah berkedut karena rasa bersalah.
Dia seolah menyesal sepenuh mati melakukan seks indah tadi.
“Kamu tadi...” Aku tidak bisa menjawab.
“Apa saya tadi...?” Dia tidak bisa melanjutkan.
Aku mengangguk. “Apa kamu... nggak ingat?”
Napas Faisal menderu. Dia terduduk. Tampak ketakutan. “Badan saya sekarang dingin,” katanya. “Saya ingat semuanya. Semuanya. Tapi... saya nggak percaya saya ngelakuin itu. Pasti ada yang ngendaliin saya.”
Faisal tampak malu. Imut-imut malu. Dia tidak berani menatap ke arahku. Dia seolah baru saja memperkosaku. Lalu, merasa takut polisi akan menangkapnya. Padahal secara teknis, aku lebih-lebih menikmati seks itu dibandingkan dia.
Lalu, dia nyaris menangis.
Dia menyesal sekali lagi. Sangat-sangat menyesal.
Aku mengamati Faisal seraya mengerutkan alis. Kenapa ya dia? Apa yang terjadi padanya tadi? Kupikir... kupikir dia memang pengin melakukan itu. Mungkin karena hujan. Suasana romantis. Mungkin aku menarik. (Yah, dibandingkan Faisal, aku lebih menarik.)
(Apalagi dibandingkan Ayysell.)
Mungkin dia mabuk. Mungkin dia...
Tunggu...
Aku jadi teringat sesuatu.
Aku pernah ikutan pengajiannya Pak Haji Nasir. Tahu Pak Haji Nasir? Itu, guru ngaji yang ditaksir Ibu. Pak Haji Nasir suatu waktu pernah bilang padaku, dan anak-anak di kampung itu, tentang kesurupan.
“Kalau kamu merasa dingin tiba-tiba, berarti ada makhluk halus yang melewati tubuhmu. Energi kalian bersinggung sejenak, dan perasaan dingin itu mendadak muncul selewat. Tapi kalau kamu merasa panas tiba-tiba...” Saat itu Pak Haji Nasir sengaja menggantungkan kalimatnya dan menatap kami satu per satu. Mungkin mendramatisasi. Supaya menyeramkan. Setelah itu dia melanjutkan, “... berarti ada makhluk halus yang sedang mencoba mengontrol tubuh kamu.”
Dan, beberapa menit sebelum seks itu terjadi, di tengah hujan badai, di tengah suhu yang jelas-jelas dingin, Faisal kepanasan.
Apa dia...?
-XxX-
“Cuma itu pesannya?” selidik Ibu.
“Ya. Cuma itu.”
“Kalau bulan kemarin, apa pesannya?”
“Nggak ada pesan. Dennis cuma... menghilang.”
Dicky menelan ludah. Ragu menyebut kata itu lagi. Takut diejek Ibu lagi.
“Bagaimana menghilangnya?”
“Seperti kabut asap.” Dicky mendesah. “Menjadi bias. Menjadi kabur. Menjadi samar. Tapi Dicky masih ingat dengan jelas—“
Ibu menangis. Dicky bahkan tak sempat menyelesaikan kalimat Dicky.
“Kenapa, Ibu?”
“Apa kamu bilang? Menjadi kabut asap?”
“Mungkin kabut asap. Nggak jelas juga. Dicky nggak begitu ingat. Tapi Dicky—Ibu kenapa?”
“Jadi mitosi tu benar?”
Mitos?
“Ibu?” Dicky menghampiri Ibu dan menggenggam tangannya. Ibu tampak terguncang. Kedua tangannya gemetar. Kedua bola matanya berlinang. Kedua katup bibirnya menganga. Ibu seperti baru melihat almarhum Bapak di depan matanya. “Ibu?”
“Apa kamu yakin, dia menjadi kabut asap?”
Dicky menyesal sudah menceritakan ini. “Ya, kabut asap,” jawab Dicky akhirnya.
Dan Ibu pun menangis.
Sesenggukan.
Dicky berlutut di hadapan Ibu, merasa bersalah telah membuat Ibu menangis. Dicky memeluk Ibu yang membungkuk menahan cekat di tenggorokannya. Dicky mengusap bahu Ibu, menenangkannya.
“Itu cupid,” kata Ibu. Persis yang dibilang Agas.
“Siapa yang cupid?”
“Dennis. Dia betul-betul cupid.” Ibu menangis lagi.
“Ibu,l upain aja yang barusan. Barangkali Dicky ngelantur. Ibu tidur, ya? Dicky anterin ke kamar.”
“Dennis itu sekarang cupid,” jawab Ibu, masih bercucuran air mata. Tangannya mengelak uluran Dicky. Wajahnya berpaling dan melemparkan tatapan serius. “Dia menjadi cupid untuk satu alasan. Begitu alasannya terpenuhi, dia akan pergi.”
“Nggak ada yang namanya cupid, Ibu,” tegas Dicky.
“Dia menjadi cupid untuk membantu kamu nemuin orang yang kamu cintai.”
“Dicky nggak percaya cupid.”
“Siapa yang ada bareng Dennis waktu kamu ngelihat dia.”
Dicky berdecak kesal dan mulai berdiri. Dicky benar-benar menyesal pernah mengangkat topik soal ini. “Dicky lihat Dennis bareng Agas. Tapi mungkin itu halusinasi Dicky doang, mungkin itu pantulan cermin dari—“
“Jadi tugas dia buat ngejodohin kamu sama... Agas?”
“Ibu bilang apa, sih?”
Ibu menelan ludah dan kembali duduk tenang. “Mungkin Ibu belum pernah cerita soal perjanjian rahasia ini. Soal apa yang diceritakan Nek Alia ke Ibu bertahun-tahun lalu, sewaktu kamu masih remaja, sewaktu Dennis pertama kali pergi. Kata Nek Alia, ‘Dennis ada di dunia lain, untuk sebuah tugas dari Sang Pencipta. Siapa pun orang pertama yang dilihat Dicky sedang bersama Dennis... adalah pasangan kekasihnya masa depan, Dennis akan menjodohkannya. Itu satu-satunya tugas cupidnya.’”
-XxX-
Jadi, pada akhirnya, apa kalian ingin membuat rahasia?
Bersamaku, misalnya. Bukan tentang siapa selingkuhan kalian. Bukan tentang cowok yang diam-diam kalian taksir di kantor, atau di sekolah, atau di ujung gang, padahal kalian punya pacar membosankan yang hanya sanggup diajak pacaran melalui LINE.
Rahasia tentang rasa penasaran. Tentang aku mencuri beberapa lembar catatan tulis ulang jurnal buatan Faisal. Tanpa bilang-bilang. Lalu, aku membawanya ke angkot, dan menyelesaikannya sampai halaman sembilan. Aku tahu, Faisal akan sangat membutuhkan ini. Dia, kan mau membuat buku. Paling-paling dia akan meneleponku. Paling-paling aku akan mengembalikannya. (Setelah kufotokopi.)
Dari situ, entah aku kesurupan atau diam-diam mencari sensasi, aku mendapati diriku menaiki angkot Caheum-Ledeng, arah ke Ledeng. Aku turun di simpang yang ada McDonald-nya. Berjalan sedikit menuju kompleks perumahan yang kemarin menyelenggarakan Pameran Tumaninah.
Aku sudah membaca jurnal Friday Night itu. Meski belum selesai. Meski belum mengerti maksudnya ke arah mana. Sejauh ini kesimpulanku: ada tokoh bernama Dicky, ibunya Dicky, Agas Entah-Siapa, Dennis yang bikin semua terharu, Cazzo yang disebut-sebut, Esel yang kuharap bukan Ayysell, hingga berkali-kali membahas cupid. Rasa penasaranku bukannya membunuh kucing, tetapi membawaku kembali ke rumah tua itu.
Rumah nenek sihir, katanya. Rumah yang kini sepi. Diberi garis kuning polisi. Tampak muram. Tampak gelap. Dilewati oleh tukang nasi goreng yang terburu-buru hanya ketika melewati rumah itu saja.
Aku ingin mengerti apa maksud jurnal itu. Aku tidak mengerti mengapa aku ingin mengerti. Namun ketika aku berdiri di hadapan rumah itu, aku merasa inilah yang seharusnya kulakukan. Aku berdiri dengan tegak, menatap lurus ke arah pintu depan, dan ....
“Embeeer! You pikir I mawar sama detseu, hah? Tinta lah, Tanteee... please, mikir pakai logistik! Iya, maksud I logika. You sutra bertahun-tahun ngobras sama I masih aja tinta ngerti bahasa I, em?”
Ayysell?!
Buru-buru aku bersembunyi di balik pohon besar. Banci dari neraka jahanam itu mendadak muncul di ujung jalan, berbicara dengan kencang sendirian. Padahal, ini sudah malam. Sudah pukul delapan dan jalanan kompleks basah karena hujan. Namun suaranya begitu khas. Kalung-kalung yang berkilaunya membuatku yakin kalau banci itulah yang datang.
Ayysell seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Kukira dengan Cazzo. Namun, tidak. Dia bicara sendiri. Dia bicara dengan udara. Dengan apa pun yang melayang di sebelah kirinya. Dia berjalan menuju rumah disegel itu, melompati garis kuning polisi, dan masih asyik mengobrol sendiri. Dia, bahkan, tidak menyadari aku sedang berdiri dua meter darinya. Di bawah bayang-bayang pohon yang gelap.
“Tinta-tinta-tinta! I mawar luluran pakai kembang margarita. Pokoknya, limosin menit, em. I tinta mawar maskara ke dalam lambreta lamborghini. Rumput laut! Rumpi! Sebentar aja, keleeuuss...”
Ayysell seperti orang gila. Sebenarnya penampilannya juga membuat dia kelihatan gila. Namun ini benar-benar gila. Dia bicara dengan udara kosong di sampingnya. Lalu, dia masuk seenaknya ke rumah yang disegel itu. Memutar ke samping, menuju halaman belakang.
Mengapa dia bisa seberani itu? Ini, kan rumah berhantu.
Mengapa pula dia ada di sini? Apa dia ada hubungannya dengan rumah misteri ini?
Ketika aku sedang asyik-asyiknya kebingungan atas kehadiran Ayysell di sini, sebuah tangan menyentuh pundakku, membuatku melompat kaget. Aku hampir mati. Jantungan. Seorang lelaki berdiri satu meter di hadapanku. Lelaki yang barusan menyentuh pundakku.
“Siapa kamu?” tanyanya.
Aku menyipitkan mata. Mencari cahaya lampu jalanan supaya bisa melihat siapa dia.
Dia adalah...
... tunggu.
Pantulan cemerlang dari matanya itu...
Dia lelaki angkasa bermata cemerlang.
Dia si pilot itu. Si lelaki yang katanya cucu pemilik rumah misteri ini.
“Siapa kamu?” tanyanya lagi. “Kenapa ada di sini?”
Aku menggeleng. “Aku nggak tahu.”
“Kamu kenal Esel? Yang barusan masuk?”
Aku menggeleng lagi. “Yah, pernah ketemu, sih....”
“Kamu temannya?”
Aku menggeleng kuat-kuat. Pertanyaan barusan harus dijawab setegas mungkin.
Lelaki itu memiringkan kepala. Seolah mengamatiku. Seolah mencari sesuatu dari tatapan mataku. Kemudian, aku melihat matanya berair. Dan, aku melihat dia menghapus air yang mulai menggenang di sudut matanya. Dia menarik napas. Mengendalikan diri. Lalu, dia berkata lagi padaku.
“Saya téh nggak tahu siapa kamu, tapi saya tahu mungkin kamu bisa bantu saya,” katanya.
Aku tidak mengerti. Namun aku hanya mengangguk saja. Seperti orang tolol.
“Saya cuma pengin tahu,” katanya. “Kenapa mukakamu mirip banget sama Agas?”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar